Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Hitam di Pintu Akhirat

22 Maret 2011   06:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjelasan Leo bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Menurut Hasan dan Ono, dua penggali kuburan dan perawat kuburan di Pemakaman Karet Bivak, pembayaran retribusi untuk jenazah baru paling murah 300 ribu dan paling mahal 500 ribu. Hal ini masih ditambah 600 ribu untuk ongkos penggalian. “Bersihnya kalau (makam) baru itu sekitar satu juta seratus sampai satu juta tiga ratus,” kata Hasan.

“Itu yang memungut mandor dari Taman Pemakaman.”

Bagaimana menjelaskan perbedaan ini?

“Jangan berfikir mereka korupsi,” tutur Leo, “tetapi mereka mencari lebihnya dari pada pekerjaan dia, karena dia bukan pegawai,” katanya dengan suara meninggi. Ia yang sebelumnya mondar-mandir tiba-tiba berhenti menatap serius ke arah saya.

Intinya, Leo mengatakan, para penggali makam tidak berubah mejadi jutawan dari profesi mereka. Alasannya, jumlah orang mati tidak pernah diprediksi sementara kebutuhan sehari-hari rumah tangga penggali makam harus terpenuhi tiap hari. Dalam banyak kasus, biaya pemakaman yang mencapai 2,5 juta juga tidak terlepas dari permintaan anggota keluarga yang meninggal misalnya, meminta tenda, memesan batu nisan, perawatan dan pembersihan makam dan lain-lainnya. Leo benar dalam hal permintaan warga. Dengan berapi-api ia kembali menunjukkan sisi manusiawi penggali makam.

“Kalau misalnya minggu ini enggak ada yang meninggal,” katanya, “maka dia punya utang di warung.”

“Ini permasalahan pengangguran, siapa yang mau jadi penggali makam? maka hargai mereka, jangan berfikir uang yang mereka keluarkan tadi terus kita anggap korupsi, mereka sebagai penggali liang lahat seharusnya kita kasih reward kepada mereka. Bagaimana sudah jaman modern ini kok hidupnya masih tukang gali kubur?”

“Kalau banyak duitnya jadi tukang gali kubur,” Leo melanjutkan, “kita semua jadi tukang gali kubur aja. Jangan kau pikir banyak duitnya!”

Jika Leo memaklumi pungutan-pungutan liar itu, sebaliknya dengan Wargo. Sesuai peraturan daerah dalam setiap pemakaman satu jenazah baru, masyarakat sebetulnya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan di luar retribusi resmi yang ditetapkan pemerintah. Dengan kata lain, “paling mahal 100 ribu.” Kecuali jika ahli waris sendiri yang menginginkan atau meminta fasilitas di luar yang di tanggung pemerintah seperti tenda, kursi, rumput atau sound system. Bahkan, masyarakat tidak mampu bisa memperoleh pemakaman gratis.

“Plaket pun sebenarnya tidak perlu karena kita ada program plaketisasi seluruh makam tiap tahun yang dibiayai APBD. Tahun ini dianggarkan 1 miliar,” katanya, “tapi kan kadang ahli waris itu enggak sabar dan ingin berkorban untuk keluarganya. Masang sendiri biar bagus.”

Masyarakat juga tak perlu membayar biaya penggalian dan penutupan liang lahat karena sudah ditanggung pemerintah dengan subsidi 300 ribu per makam, kecuali diberikan dengan sukarela. Meski demikian, Wargo tak menutup mata dengan pungutan-pungutan liar dari calo yang mengaku siap membantu 24 jam seperti di pemakaman Cipinang Besar, Menteng Pulo dan Karet Bivak. Bahkan kadang Masyarakat juga susah membedakan penggali kubur yang ditugaskan pemerintah dengan calo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun