Hukum acara perdilan agama
Afandi, S.H., M.H
Akbaar Allaika Rahmatullah
222121180
Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakata, Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pengadilan Agama
1. Pengertian Pengadilan dan Peradilan
Istilah "Pengadilan" dan "Peradilan" merupakan dua kata yang berbeda. "Pengadilan" adalah tempat atau lembaga atau badannya. Hal ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sedangkan yang maksud dengan "peradilan" adalah proses pemeriksaan perkara di pengadilan, yang dimaksud adalah acara pemeriksaan perkara oleh Hakim di lingkungan Pengadilan.
      Pengertian peradilan agama, dalam Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan menurut Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah bunyinya dengan pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, dinyatakan bahwa peradilan agama adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi Rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Menurut UU Nomor 48 Tahun 2009, dalam Pasal 25 Ayat (3) dinyatakan bahwa peradilan agama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Istilah "peradilan agama" harus dibedakan dengan "peradilan Islam". Peradilan Islam adalah peradilan menurut konsepsi Islam secara universal, yaitu mengadili semua perkara berkaitan dengan ajaran Islam secara universal. Karena itu, peradilan agama bukan peradilan Islam, dilihat dari materi perkara yang menjadi kompe- tensinya (Pasal 1 Butir (1), 49 dan 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 Jo. UU Nomor 3 Tahun 2006). Lain halnya pendapat Roihan A. Rasyid bahwa Peradilan Agama dapat disebut "peradilan Islam" dengan disertai rangkaian kata "di Indonesia" lengkapnya Peradilan Islam di Indonesia. Untuk menghindari kekeliruan pemaknaan apabila dimaksud "peradilan Islam di Indonesia", maka cukup digunakan Istilah "peradilan agama". Peradilan agama merupakan peradilan lalam di Indonesia, karena wewenangnya mengikuti peraturan perundang-undangan di Indonesia (Roihan A Rasyid, 2000: 5-6).
   Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa Peradilan Agama disebut Peradilan Khusus. Dikatakan Peradilan Khusus adalah pihak (subyek) serta obyek perkaranya tertentu. Menurut Pasal 1 Butir (1) serta Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, bahwa pihak-pihak yang berperkara adalah antara orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan berkenaan dengan materi obyek perkaranya menurut Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang isinya diubah dengan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah.
Di samping batasan pengertian "peradilan agama" yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 7 Tahun 1989) perlu pula dikemukakan pendapat doktrin (ahli), yaitu dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo. Beliau berpendapat bahwa pengadilan agama adalah tempat dilakukannya usaha mencari keadilan dan kebenaran yang di-ridhoi Tuhan Yang Maha Esa, yakni melalui suatu Majelis Hakim atau Mahkamah. Oleh karena itu, Pengadilan Agama dinamakan "Mahkamah Syar'iyah" yang berarti "Pengadilan" atau "Mahkamah" yang tugasnya menyelesaikan perselisihan hukum agama atau hukum syara' dan karenanya Pengadilan Agama hanya khusus berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja (M. Indris ramulyo, 1985: 11).
2. Pengertian Hukum Acara Perdata di Peradilan Umum dan Peradilan Agama
a. Hukum Acara Perdata di Peradilan Umummisalnya dalam jual-beli dan kewarisan (menurut KUH Pdt. dll). Sedangkan, hukum perdata Islam materiil yang menjadi wewenang peradilan agama, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah menurut hukum Islam (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006). Sedangkan dalam hukum tidak tertulis, misalnya jual beli dan kewarisan menurut hukum adat
Sudikno Mertokusumo (1998: 2) berpendapat bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim, dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentu- kan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih kongkrit dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, mengadili, memutus, dan melaksanakan dari pada putusannya.
b. Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama
Hukum acara peradilan Islam disebutkan dalam hadist Rasulullah Saw, yang artinya, "Aku (kata Rasulullah SAW) diperintahkan oleh Allah untuk menyelesaikan suatu perkara menurut dhohirnya saja, sedangkan perkara sir (hakekat) hanya Allah jualah yang paling tahu (Roihan A. Rasyid, 1995: 10)."
Menurut Roihan A. Rasyid, kata dhohir di sini bukanlah kebenaran formal menurut istilah hukum acara perdata umum, melainkan kebenaran hakekat secara formil atau kebenaran materiil menurut kemampuan ilmu manusia (Roihan A. Rasyid, 2000: 10). Sedangkan menurut Penulis, kata dhohir adalah seluruh daya dan upaya kemampuan manusia dalam mempertimbangkan serta memutus suatu perkara yang didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku baik formil maupun materiil.
3. Hubungan antara Hukum Perdata Materiil dengan Formil
 Hukum perdata materiil disebut juga hukum perdata. Pengertian hukum perdata menurut hukum perdata umum adalah peraturan hukum baik tertulis (dalam undang-undang) maupun tidak tertulis (hukum adat) yang berisikan mengatur hak dan kewajiban antara subyek-subyek hukum yang mengadakan hubungan hukum itu; misalnya dalam jual-beli dan kewarisan (menurut KUH Pdt. dll). Sedangkan, hukum perdata Islam materiil yang menjadi wewenang peradilan agama, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah menurut hukum Islam (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006). Sedangkan dalam hukum tidak tertulis, misalnya jual beli dan kewarisan menurut hukum adat.
4. Perkara di Pengadilan Agama
a. Pengertian Perkara dan Sengketa
Pengertian "perkara" lebih luas dari pada "sengketa". Pengertian perkara termasuk di dalamnya adalah pengertian sengketa. Sengketa berarti ada yang disengketakan atau diperselisihkan. Sedangkan pengertian "perkara" menurut hukum adalah baik ada yang diseng- ketakan atau ada yang diperselisihkan, ataupun tidak ada sengketa atau tidak ada perselisihan. Perkara ada yang disengketakan atau ada perselisihkan. Misalnya, A dan B mempunyai dua orang anak kandung, yaitu C dan D, kemudian A dan B telah meninggal dunia. Di samping telah meninggalkan dua orang ahli waris yaitu C dan D juga telah meninggalkan sebidang tanah yang di atasnya berdiri sebuah bangunan rumah. Jika ternyata harta peninggalan tersebut hanya dikuasai oleh C, sedangkan D tidak diberi haknya, berarti ada sengketa atau perselisihan. Bentuk tuntutan haknya adalah gugatan.
Sedangkan perkara yang tidak ada sengketa atau tidak ada per- selisihan, misalnya; C dan D secara bersama mengajukan permohonan penetapan waris, permohonan ijin jual, permohonan sebagai wali, dan lain-lain yang diajukan ke Pengadilan. Bentuk tuntutan haknya adalah permohonan.
b. Timbulnya Perkara di Pengadilan Agama
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang bunyinya diubah dengan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 yaitu peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah.
c. Pihak-pihak dalam Perkara
Umumnya dalam beracara di depan pengadilan dalam perkara perdata terdapat dua macam pihak, yaitu pihak materiil dan pihak formil. Yang dimaksud pihak materiil adalah orang yang mempunyai kepentingan hukum langsung terhadap perkara itu. Misalnya C dan D adalah ahli waris dari orang tua kandungnya yang bernama A dan B. Sedangkan yang dimaksud pihak formil adalah pihak yang beracara di depan pengadilan. Apabila C dan D mengajukan gugatan sendiri atas harta peninggalan orang tua kandungnya bernama A dan B, maka C dan D di samping sebagaian sebagai pihak materil juga sebagai pihak formil.
5. Hukum Acara Perdata yang Berlaku di Peradilan Agama
Peradilan agama atau disebut juga peradilan Islam di Indonesia adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia (Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009). Peradilan agama termasuk peradilan khusus, yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mewu- judkan dan menegakkan hukum perdata Islam materiil dalam batas- batas yang ditentukan dalam undang-undang (Roihan A. Rasyid, 2000: 6).
Untuk melaksanakan tugas pokoknya yaitu menerima, memeriksa, mengadili perkara-perkara, serta memberikan putusan, serta fungsinya dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka pengadilan agama memerlukan hukum formil atau hukum acara sebagai peraturan yang mengatur bagaimana cara melakukan suatu peradilan atas suatu perkara, memberi putusan, serta melaksanakan hasil putusan hakim tersebut.
Â
BAB 2
MEMBUAT DAN MENGAJUKAN GUGATAN
A. Ruang Lingkup
Dalam bab ini diuraikan cara membuat gugatan, sedangkan yang termasuk tuntutan hak di samping gugatan juga intervensi, perlawanan (verzet), perlawanan pihak ketiga (derdenverzet) dan permohonan. cara membuat semua tuntutan hak di atas sama dengan cara membuat gugatan. Karena itu, judul bab ini cukup mengambil salah satu dari tuntutan hak yang berupa "gugatan".
Bagian gugatan atau format gugatan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama menguraikan tentang mekanime pengajuan gugatan baik menyangkut kekuasaan absolut maupun kekuasaan relatif. Bagian kedua berisikan tentang syarat isi gugatan (identitas para pihak, fundamentum petendi atau posita, dan Petitum). Sedangkan bagian ketiga menguraikan tentang tandatangan pihak atau kuasanya yang membuat dan mengajukan gugatan (tuntutan hak).