Mohon tunggu...
Akbar Allaika Rahmatullah
Akbar Allaika Rahmatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mhs

Saya tersuka tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Acara Peradilan Agama

19 Maret 2024   09:22 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:34 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

B. Kekuasaan Pengadilan
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum diseleng- garakan oleh pengadilan negeri (PN) merupakan pengadilan tingkat pertama dan oleh pengadilan tinggi (PT) merupakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding. Di lingkungan peradilan agama diselenggarakan oleh pengadilan agama (PA) merupakan peng- adilan tingkat pertama dan oleh pengadilan tinggi agama (PTA) meru- pakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding.

C. Kekuasaan Pengadilan Agama

Kekuasaan atau kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006, kekuasaan peradilan agama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kekuasan absolut (kompetensi absolut);
2) Kekuasaan relatif (kompetensi relatif).

1. Kekuasaan Absolut Pengadilan Agama
Kekuasaan absolut peradilan agama adalah kekuasaan atau kewenangan mengadili dari badan peradilan yang berupa peradilan agama atas perkara perdata tertentu secara absolut (mutlak) hanya pengadilan di lingkungan peradilan agama yang berwenang mengadili dan tidak dapat diadili oleh badan peradilan lain. Kekuasaan absolut menyangkut kekuasaan mengadili antara badan peradilan yang berbeda. misalnya kekuasaan mengadili antara peradilan agama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer.
2. Kekuasaan Relatif (Kompetensi Relatif/Distributie Van Rechtsmackt)
Wewenang relatif adalah mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan dalam satu badan peradilan yang sama. Menyangkut kekuasaan relatif adalah menyangkut Distributie Van Rechmacht (Retnowulan sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989; 8).
Penulis berpendapat bahwa wewenang relatif dari pengadilan adalah pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya di lingkungan satu badan peradilan yang sama semata-mata ditentukan tergantung masing-masing wilayah hukum pengadilan itu. Misalnya perkara utang piutang merupakan wewenang mutlak peradilan umum, karena tergugatanya bertempat tinggal di Surabaya, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Perkara antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang perceraian yang waktu nikahnya dilakukan di kantor urusan agama, perkara kewarisan, hibah, wasiat merupakan wewenang mutlak badan peradilan agama. Karena tergugatnya bertempat tinggal di Malang, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan agama Malang, karena perkara serta tempat tinggal subyeknya berada di Malang yang merupakan wilayah hukum Pengadilan Agama Malang.

D. Gugatan atau Permohonan
1. Isi Gugatan atau Permohonan
Mengenai isi gugatan/permohonan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau RBg. tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan Pasal 8 No. 3 RV, yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat: a). identitas para pihak, b). fundamentum petendilposita, yaitu dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (middelen van den eis), c). tuntutan (Petitum), Isi Membuat gugatan atau permohonan adalah sama dengan membuat tuntutan hak yang lain, misalnya membuat verzet (perlawanan), intervensi (keikutsertaan pihak ketiga), derdenverzet (perlawanan pihak ketiga), dan lain sebagainya.

2. Upaya untuk Menjamin Hak
Penggugat sangat berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan, bila gugatannya dikabulkan atau dimenangkan, agar terjamin haknya atau dapat dijamin putusannya dapat dilaksanakan.

3. Bentuk Gugatan

Pada dasarnya gugatan atau permohonan yang diajukan serta didaftarkan di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama adalah harus dibuat berbentuk tertulis (Pasal 118 Ayat (1) HIR, 142 Ayat (1) RBg.), adapun membuatnya ada dua cara, yaitu: secara lisan dan tertulis

a. Secara Lisan
Apabila seseorang tidak dapat baca tulis, atau bisa membaca dan menulis tetapi tidak dapat membuat gugatan, maka ia dapat datang dan menghadap di kepaniteraan perdata suatu pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) sesui kewenangan relatifnya, menyampaikan langsung secara lisan bermaksud hendak meng ajukan gugatan ke pengdilan (pengadilan agama) (Pasal 120 HIR 144 ayat (1) RBg.), setelah dibuatkan oleh pengadilan, kemudian dicap jempol atau ditandatangani oleh penggugat atau pemohon, lalu didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan.

b. Secara Tertulis
Semua tuntutan hak termasuk gugatan dibuat secara tertulis dalam pembahasan di bagian ini dimaksudkan bahwa pihak yang akan mengajukan gugatan telah membuat gugatan lebih dahulu di rumah, ditandatangani, kemudian di bawah ke pengadilan untuk didaftarkan (118 Ayat (1) HIR, 142 Ayat (1) RBg.). Semua bentuk tuntutan hak, gugatan, permohonan, perlawanan, dan lainnya, dibuat dan ditandatangani tanpa materai.

4. Pihak-pihak dalam Perkara
Di dalam perkara perdata berarti ada yang disengketakan dan tidak ada yang disengketakan. Tidak ada yang disengketakan, misalnya permohonan, berarti hanya terdapat satu pihak yaitu pemohon: contohnya, permohonan penetapan waris, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun