Ristya Ulfah Syahna, itulah namanya. Tapi, orang memanggilnya dengan nama Ris/Ristya. Dia terlahir di kota Kembang. Ya, Bandung. Bandung menjadi salah satu saksi dari kisah kehidupannya dari titik awal hingga mungkin sampai akhir. Bandung, yang didominasi oleh suku sunda itu membuat orang berpandangan bahwa  para wanita yang berasal dari sunda itu rata-rata memiliki paras yang cantik nan indah dipandang. ''Termasuk aku hehe'' ucap ristya.
*Part 1*
''Ris? Kamu sedang apa? Ibu mau minta tolong sebentar.'' ucap Ibu Ristya.
''Iya bu sebentar aku lagi ini dulu tanggung bu. Lagi seru-serunya ini'' Balas ristya dengan nada lembut.
''Cepat sini, kamu sedang apa sih?'' ucap ibu dengan sedikit nada kebingungan.
Ristya segera menemui ibunya. ''Iya bu ada apa?'' ucap Ristya.
'' Kalau disuruh tuh, jangan di nanti-nanti, jangan hanya karena kamu keasikan nonton film jadi lupa dengan segalanya. Kalau kamu sudah asik menonton, pasti seperti yang sedang dihipnotis. Udah sana tolong belikan ini ke warung. Ibu sudah menuliskan semuanya. '' ucap ibu dengan memberikan secuil kertas dengan daftaran kebutuhan rumah tangga.
''Siap bu komandan. Berangkattttttttttttttttttt'' ucap Ristya dengan bergegas pergi ke warung.
Begitulah ristya, mempunyai hobby menonton film. Yang menjadi dominannya adalah film FTV. Menurutnya, film FTV adalah film terfavorit. Karena baginya film FTV itu tidak hanya sekedar hiburan semata. Namun banyak pelajaran didalamnya.Â
Banyak makna yang tersirat di dalamnya, kisah yang diangkatnya pun tidak jauh dari kehidupan nyata. Kisah yang banyak diangkat dari fakta membuatnya tersentuh dan berfikir bahwa ternyata hidup itu tidak semanis gula.Â
Dan ternyata hidup pun pasti banyak rintangan yang menghadang seperti layaknya dalam sebuah pertandingan Karate, misalnya. Sekali mental tidak kuat, terlindas oleh lawan. Begitupun dengan kehidupan. Sekali tidak kuat dengan kenyataan hidup, terlindas oleh pahitnya takdir Tuhan.
*Part 2*
Hari senin tiba. Ristya selalu mempersiapkan untuk sekolah itu pada saat malam harinya. Jadi jarang sekali ada sesuatu yang tertinggal. Ia segera bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, karena sekolahnya yang searah dengan tempat kerja ayahnya, maka setiap hari Ristya selalu diantar jemput oleh ayahnya.Â
Ristya selalu diperhatikan selalu oleh kedua orang tuanya. Terutama oleh ayahnya, tidak pernah absen kabar. Bahkan seragam putih birunya itu selalu berwarna putih, jarang terlihat kusam. Apalagi dengan wangi pakaian baju yang sering kali lama menempelnya. Sesampainya tiba disekolah, ia langsung bersiap-siap untuk melaksanakan kegiatan rutin di hari senin yaitu upacara bendera merah putih.
''Eh gimana ris? Siap ga nih kalau nanti kita test lisan pertama? Biar dapat nilai yang bagus kan kita sudah mau pensiun di sekolah ini, jadi kita harus semakin semangat'' ucap Nasya sahabat karibnya.
''Hah? Test lisan? Test lisan apa?'' balas Ristya dengan wajah terkejut.
''Lah ko tumben kamu kaget, kan biasanya kamu selalu ingat tugas. Sekarang kan jadwal kita test lisan Materi sejarah Geografi.'' ucap Nasya.
''Oh iya benar. Aduh aku lupa, gimana dong? Ah dasar. Gimana ceritanya kalau aku gini, pelajaran pertama lagi haduh gimana dong nas?'' ucap Ristya.
''Kamu emang kemarin kemana aja? Kemarin kan minggu, banyak waktu buat mengahafal. Hayoloh gimana, tau kan gimana Ibu kalau ada yang belum siap. Bisa habis kamu. Tumben banget kamu kaya gini. Jangan acuh dong, ini kan tugas.'' Balas Nasya.
''Aku? (diam sejenak) kemarin asik menonton film FTV nas. Film yang kemarin aku tonton seru banget. Sampai aku terbawa suasana, jadi aku lupa segalanya sampai aku tidak inget ada test hafalan.'' Ucap Ristya  dengan nada rendah, raut wajah yang kacau dan posisi kepala yang menunduk.
''Ya ampun Ris, sampai segitunya kamu berkorban demi sebuah film. Kamu boleh menonton tv seasik apapun, tapi kamu juga harus ingat waktu dan kewajiban kamu.'' Balas Nasya.
''Ya habis gimana lagi Nasya, aku kalau sudah asik menonton film FTV ya seperti itu. Yasudahlah. Nanti aku meminta izin saja ke ibu. Semoga ibu mengerti'' ucap Ristya.
Bel masuk berbunyi.
''Stttttttttttt hei ada ibu-ibu'' ucap Afin teman sekelas Ristya yang paling jahil.
Semua siswa berlarian untuk bergegas duduk di tempat masing-masing.
''Ibu-ibu hei maksudnya'' ucap Afin sembari tertawa.
''Ih kamu kenapa sih, bikin jantung aku lepas aja. Jangan gitu dong aku belum hafal materi untuk test lisan.'' Balas Ristya dengan nada sedikit tinggi.
Terlihat dari sudut pandang Ristya. Salah seorang guru yang berjalan dengan sedikit cepat, raut wajah yang serius disertai dengan genggaman tumpukan buku. Ya, itu ibu Lulu guru Geografi.
''Ibu absen ya untuk teknis test lisannya.'' Ucap Ibu Lulu.
''Iya bu.'' Balas semua siswa dengan serentak.
''Bu maaf aku belum siap untuk test lisan hari ini. Boleh tidak (pembicaraan Ristya dihentikan oleh ibu guru).
''Silahkan kamu menghafalnya di perpus, tapi ibu anggap alfa hari ini. Tanpa basa basi, silahkan menuju perpustakaan.'' Ucap Bu Lulu.
Ristya bergegas pergi ke perpustakaan dengan perasaan yang pasrah karena tidak bisa untuk apa-apa lagi.
''Begitulah bu Lulu, guru paling tegas di sekolah ini. Tak apa-apa. Aku memang pantas menerima konsekuensi ini.'' Ucap Ristya dalam hatinya.
Setelah sesampainya di rumah.
Terdengar suara seperti orang yang sedang berdebat kusir, seperti orang yang sedang debat di acara ILC(Indonesia Lawyers Club).
''Ibu ada apa tadi? Aku takut. Ibu dengan ayah baik-baik aja kan?'' Ucap Ristya dengan wajah yang khawatir.
''Tidak apa-apa ris. Sudah, ini urusan ibu dengan ayah kamu tidak usah tahu. Yang penting kamu belajar yang rajin di sekolah. Ikuti apa kata guru di sekolah. Doa'kan selalu ibu dengan ayah ya. Semoga kita selalu bersama hingga nanti akhir hayat.'' Balas ibu sembari memeluk erat Ristya.
Tanpa sepatah kata Ristya diam membisu. Air mata mengalir membanjiri pipinya.
*Part 3*
Hari yang cerah. Dengan tenangnya orang berlalu-lalang tersumbat oleh macetnya kendaraan di jalan raya. Tidak sedikit orang yang disibukkan oleh urusan duniawi, hanya karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitupun dengan Ristya, setiap ia libur sekolah sudah pasti sibuk latihan. Dia bermimpi besar untuk menjadi seorang atlit dayung. Memang semua orang bahkan orang tuanya pun meragukan mimpinya. Namun karena Ristya memiliki prinsip yang teguh, menurutnya itu adalah sebuah kepastian bukan ketidakmungkinan.
''Akan ku buktikan pada dunia, bahwa mimpi ini sudah pasti akan ku raih. Aku tidak patah semangat hanya karena keraguan orang-orang yang berada di sekitarku atas impianku. Terserah orang mau berpandangan apa, asalkan aku tidak pernah menyerah untuk menggapai mimpi.'' Ucap Ristya dengan penuh keyakinan.
Hari minggu, aku harus segera bergegas untuk latian dayung. Ini adalah hari pertamaku latihan, dan aku berniat untuk konsultasi terhadap manager sekaligus pelatih.
''Kak, aku berniat untuk menjadi seorang atlit dayung. Tapi banyak orang yang mengecilkan imipianku ini, sekalipun orang tuaku. Aku ingin menjadi seorang atlit, aku ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa aku mampu. Aku ingin menjadi pribadi yang sukses. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang berada disekitarku? Mereka bilang aku tidak mungkin menggapi mimpi itu.'' ucap Ristya mencurahkan semua isi hatinya.
''Mimpimu sangat besar dek. Aku salut kepadamu. Melihat banyak orang seumuranmu, mereka disibukan dengan dunia permainan, tidak salah lagi dengan gudget. Jika memang benar kamu ingin menjadi seorang atlit, berlatihlah dengan baik. Ingat, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Analoginya seperti ini, tidak akan mungkin kita kalah di pertandingan jika kita sudah benar-benar lama berlatih dengan serius, bahkan hingga bertahun-tahun. Kita habiskan waktu hanya untuk sekedar latian, latihan fisik hingga berjam-jam. Kita rela terjatuh hanya demi menggapai suatu keberhasilan. Begitupun dengan kamu, jika memang benar kamu sungguh-sungguh dalam setiap latihan, dan kamu mempunyai bakat maka mimpimu itu besar kemungkinan untuk tercapai. Kita tidak usah mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang. Kalau kita sukses, orang yang mengecilkan imipian kita bisa apa? Jika kita sudah sukses, siapa yang bangga? Pasti semua orang, terutama orang tua. Namanya juga hidup, wajar saja jika banyak orang yang tidak ingin melihat kita sukses.'' Ucap sang pelatih.
''Iya bener apa yang dikatakan pelatih ris, tidak ada salahnya jika kamu bermimpi dan bercita-cita untuk menjadi seorang atlit dayung. Memang orang bilang tidak mudah untuk menjadi atlit dayung, tapi tidak ada salahnya jika kita bercita-cita dengan dibarengi niat yang kuat dan latihan yang serius. Jangan dengarkan apa kata orang. Fokus terhadap cita-cita yang harus kamu gapai.'' Ucap Tomi salah satu teman sekomunitas atlit dayung.
''Di balik banyak orang yang mengecilkan mimpimu, banyak pula orang yang siap menemani dalam menggapi cita-citamu. Kami siap ris untuk menjadi saksi atas keberhasilan mimpimu. Kami siap menemanimu dari nol hingga kamu berada dipuncak kelak. Banyak orang yang peduli terhadapmu, jangan khawatir.'' Ucap salah seorang teman Ristya.
''Baiklah kalau begitu, aku siap mempertanggung jawabkan impianku untuk menjadi seorang atlit dayung. Aku siap menjalani kerasnya penggapaian mimpi.'' Ucap Ristya dengan yakin sembari memasang pancaran wajah yang memberikan senyuman.
Begitulah hidup. Kita tidak akan pernah tahu apa yang menjadi takdir hidup. Terlihat manis belum tentu manis untuk selamanya. Dan terlihat pahit belum tentu pahit untuk selamanya. Apa yang diperkirakan belum tentu menjadi kenyataan.
''Aku berniat dalam diri untuk menjadi seorang atlit dayung. Aku ingin menaikkan derajat hidup. Tidak apa-apa orang meremehkan niatku. Yang terpenting aku yakin atas perjuanganku.'' Ucap Ristya bergumam dalam hati.
*Part 4*
Kring ... Kring ... Kring. Suara alarm terdengar begitu keras. Membuat tangan Ristya ingin segera mematikannya dan terbaring kembali.
''Aduh (jam menujukkan pukul 05.45 WIB). Ini kan hari senin. Kenapa ibuku tidak membangunkan ku? Bisa-bisa aku dihukum di depan. Kemana harga diriku jika aku harus dihukum di depan peserta upacara. Terlihat oleh semua penduduk sekolah. Moodku hancur parah. Aku pasrah!'' Ucap Ristya sembari meletakkan alarmnya dengan penuh tenaga.
''Kenapa kamu begitu terburu-buru ris?'' ucap sang ayah dengan penuh tatapan manis.
''Inikan hari senin yah, aku telat bangun. Belum lagi terjebak macet, sudahlah habis aku di sekolah.'' Balas Ristya sembari sibuk mencari-cari buku pelajaran.
''Halah kamu ris, ibu sudah bilang. Kalau kamu sudah keasikan nonton film FTV, seperti yang terhipnotis. Lupa semuanya. Kamu sih tidak mau nurut sama ibu, jadi gitu akibatnya.'' Sahut ibu dengan sibuk memotong sayuran.
''Iya maaf bu, habisnya gimana lagi. Kalau sudah hobby ya susah untuk dirubah.'' Balas Ristya.
''Sudah sudah. Ayo segera masuk mobil ris. Kita berangkat. Nanti tambah telat kan bahaya.'' Balas ayah kembali.
''Siap komandan tergantengku.'' Ucap Ristya sembari sikap hormat bendera.
''Hati-hati ayah, kalau sudah beres segera pulang ya.'' Ucap ibu kepada ayah dengan nada halus disertai dengan jabatan tangan mesra.
Begitulah aku dengan keluargaku. Sangat romantis. Rumah tangga yang tentram membuatku nyaman untuk terus berada di rumah. Suasana rumah yang tidak membosankan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Hari demi hari selalu aku lalui dengan penuh semangat 45. Sesampainya di sekolah, lagi-lagi ketidakberuntunganku berpihak kembali.
''Ris kamu sedang sibuk? Aku ingin cerita sama kamu.'' Ucap Nina salah satu sahabat karib Ristya.
''Tidak nin, aku siap mendengarkan seluruh isi curhatan kamu.'' Balas Ristya dengan penuh semangat.
''Tapi (pembicaraan terhenti sejenak). Aku takut semua ini tersebar ke semua sudut arah.'' Ucap Nina sembari memasang wajah mengciut.
''Ah kamu nin, kaya yang kesiapa aja. Anggap saja aku sebagai buku diary kamu. Aku akan berusaha untuk terus menjaga semua apa yang kamu ceritakan. Balas Ristya kembali.
''Jadi gini ris, aku sebenarnya takut dan sangat enggan menceritakan ini semua. Tapi gimana lagi, aku terus kepikiran tentang hal ini semua. Aku ingin melupakan semua msalah ini namun sangat sulit. Jadi, semalam aku mendengarkan obrolan orang tuaku. Seingat aku, mereka sedang bertengkar hebat, ibuku sangat marah atas perbuatan ayahku. Ibuku telah mengetahui apa yang sebenarnya. Ayahku mempunyai wanita lain dan bermain di belakang ibuku. Sampai ibuku berkata (dasar laki-laki tidak punya harga diri). Wanita mana yang tidak kecewa? Aku sungguh marah dan kecewa. Dan anehnya, ayahku malah balik memarahi ibuku. Sampai ayahku bilang (kamu saja orang yang bodoh. Tidak pernah mau mengerti atas keinginan suaminya. Dasar wanita tidak tahu terimakasih.'' Ucap Nina disertai tetesan air mata.
''Hah? (dengan wajah penuh tanda tanya). Akupun tidak percaya akn hal itu semua. Tapi bagaimana jika memang takdirnya seperti itu. Biarlah, kamu tidak usah ikut memikirkan permasalahan itu. Itu adalah urusan mereka berdua. Tugas kamu hanyalah belajar dengan baik. Jadikan pelajaran bagi kita. Sudah kamu tidak usah memikirkan hal seperti itu. Kita sebagai anak, hanya bisa membantu dengan do'a. Sudah ya, aku yakin kamu kuat. Senyum dong, kana da aku disini hehe.'' Balas Ristya dengan wajah penuh senyuman sembari mengepalkan tangan untuk  memberi semangat.
''Siap 86! Terimakasih selalu mendengarkan semua curhatanku. Ucap Nina.
      Waktu telah berjalan kembali. Riuh bising penghuni di sekolah sungguh ramai. Disertai dengan rintikan air hujan yang tidak usai terhenti. Mungkin ini sebagai pertanda, bahwa keadaan alam semesta sedang tidak baik-baik saja. Entah itu yang menimpa Temanku, atau bahkan menimpa kepada diriku sendiri, atau bahkan akan datang musibah kepadaku. Sudahlah, tidak usah memikirkan akan hal itu. Itu hanyalah sekedar tugas hujan. Tugasku hanyalah menerimanya dengan senang hati. Aku selalu berharap kepada kenyataan. Semoga aku selalu beruntung dalam takdir. Semoga takdir tidak pernah membuatku kecewa.
*Part 5*
      Kebiasaanku tidak pernah pudar. Ini adalah hari Sabtu. Hari libur bersekolah. Dikala orang-orang sibuk mencari tujuan untuk hanya sedekar rekreasi, disini Ristya selalu meluangkan waktunya untuk latihan dayung. Begitulah dia, tak pernah surut semangat. Selalu mengedepankan apa yang memang sudah menjadi prioritasnya.
''Bu, aku berangkat dulu main ya, iya main dayung maksudnya.'' Ucap Ristya sembari berjabat tangan kepada ibunya.
''Eh kamu, ga bosen apa latihan terus? Oke deh kalau begitu, hati-hati di jalan ya.'' Balas ibu dengan penuh tanda sayang.
''Tidak bu, selama aku masih mampu untuk berlatih, kenapa tidak?''. Aku pamit ya bu. Ucap Ristya sembari menutup pintu depan rumahnya.
Demi cita-cita yang tercapai, Ristya tidak pernah menyerah. Begitu kuatnya dia terhadap harapan. Lemah? Bukan type orang seperti dia. Hidup terbiasa sudah mandiri. Maka tidak salahnya jika impian dia terus diperjuangkan meski banyak bibit bebet bobot bahkan cacian dari orang lain. Dia yakin, tuhan tidak pernah tidur. Tuhan tidak pernah mengecewakan hambanya. Maka dari itu, dengan niat yang kuat dan tekad yang tangguh, dia siap menghadang rintangan yang ada demi tercapainya sebuah impian.
Di kala latihan sedang berlangsung, dia tidak pernah terlihat lemah. Jatuh, kemudian bangkit. Jatuh, kemudian bangkit lagi. Itulah prinsipnya. Pelatihnya pun selalu memantaunya, ketika dia melakukan kesalahan, dia tidak pernah menunda untuk memperbaikinya. Maka tidak salah jika pelatihnya yakin  bahwa dia akan mewujudkan mimpinya. Karena ya seperti itu, perjuangannya tidak pernah  surut. Berbeda dengan teman-temannya. Yang kadang naik turun dalam proses pencapaian sesuatu. Lain dengannya.
Namanya hidup, wajar saja kalau ada pihak yang pro ataupun kontra. Rasa semangat yang tingginya, dipandang orang sebelah mata. Seperti yang iri, maksudnya. Tidak apa-apa, akan ku buktikan semuanya dengan kenyataan. Mungkin tidak sekarang, tapi itu pasti.
Latihan telah selesai. Ristya segera pulang, sudah tidak ada yang harus dikerjakan lagi. Diapun segera bergegas pergi ke rumahnya.
''Plak!'' Terdengar oleh Ristya seperti orang yang sedang memukul sesuatu.
''Aduh, ada apa ini? Jangan-jangan ibuku kenapa lagi.'' Ristya segera berlari ke rumahnya.
''Dasar kamu laki-laki tidak punya harga diri! Beraninya bermain wanita, padahal kamu sendiri sudah mempunya istri dan anak. Kamu tidak berfikir? Bagaimana nasib istri dan anakmu atas perlakuan itu. Kamu sebagai tulang punggung keluarga seharusnya berfikir logis. Sudah terulang untuk kedua kalinya kamu melakukan seperti ini.'' Ucap ibu disertai tamparan keras.
''Beraninya kamu menampar kepada suami. Baik kalau seperti itu, mulai sekarang kita pisah! Tidak sanggup aku harus bersama dengan wanita seberengsek kamu!'' balas ayah lanjut pergi.
Terlihat ayah segera berkemas semua peralatan pribadinya.
''Air mata kembali jatuh dipipiku. Aku sungguh kecewa kepada ayah. Ternyata ayah yang selama ini aku anggap pria paling setia ternyata hanyalah sebuah ilusi semata. Ayah telah berkhianat terhadap janji suci yang dahulu diucap bersama dengan ibuku. Sungguh aku tidak menyangka. Dulu temanku bercerita tentang hal ini. Aku berfikir, tidak mungkin itu menimpa keluargaku. Dan ternyata, keluargaku tertimpa persis seperti itu.'' Ucap Ristya dengan derai air mata dan kondisi hati yang sedang kacau.
''Maafkan ibu ris, ini jalan terbaik untuk ibu dan ayah. Ayah telah berkhianat. Ibu kira ayah akan berubah tidak seperti dulu, dan ternyata dugaan ibu berbanding terbalik dengan kenyataan. Tak apa-apa, kita akan baik-baik saja tanpa ayah. Sudah tak usah bersedih, tugasmu hanyalah belajar dengan baik.'' Ucap ibu dengan mata merah dan wajah lusuh.
Ristya segera pergi ke kamarnya. Dan mengunci kamarnya. Ristya langsung mencurahkan semua isinya ke dalam buku kecilnya.
       ~ Dunia sedang tidak berpihak kepadaku. Ayahku berubah 360 derajat. Berubah seperti Kucing dengan Gajah. Jauh melampaui batas, rasanya. Keluarga yang romantis, berujung sangat tragis. Aku rapuh. Benar-benar rapuh. Hidupku seperti yang sedang berada diujung tombak. Aku sungguh tidak menyangka, harapanku salah satunya lebur. Perpisahan itu tidak mudah. Tapi ternyata mudah diucapkan oleh seorang ayah. Ayah tidak akan pernah menjadi saksi atas impian yang akan kucapai. Aku harus bagaimana? Tapi tidak apa-apa. Jika memang ini takdir terbaik, akan ku terima dengan senang hati. Selamat tinggal kepada ayah. Terimakasih atas suka dan duka. Selama ini, ayah selalu menjadi motivatorku. Semoga ayah bahagia dengan wanita yang diinginkan. Do'aku yang terbaik selalu untukmu. Semoga aku kuat dengan pamitnya ayah. ~
Memulai kehidupan yang baru. Sedikit berkurang rasa gairah untuk hidup. Melihat teman laki-laki, seperti yang fobia. Entah mengapa. Ya mungkin karena trauma atas peristiwa yang sudah berlalu. Rasa kecewa yang mendalam, selalu membekas dalam hati. Orang zaman sekarang berkata  ''Wanita itu memang mudah membawa perasaan''. Memang benar. Aku sendiri yang merasakannya. Bayangkan saja, kehilangan sosok seorang ayah yang menjadi pondasi dalam keluarga. Jika pondasi hilang? Mungkin saja semuanya hancur. Katanya, sulit untuk membangunnya kembali. Takdir telah membuatku hampa. Ristya terima semua ini dengan hati yang sangat ikhlas. Ristya sangat berterima kasih kepada Tuhan. Karenanya, telah membuktikan bahwa ayah bukan laki-laki terbaik untuknya dan ibu. Semoga kelak tergantikan oleh yang lebih dan jauh dari kata lebih.
*Part 6*
      Tepat minggu pertama bulan Oktober, Ristya  di ikut sertakan oleh managernya dalam ajang Lomba Dayung tingkat Kabupaten. Aneh memang, mengapa Ristya yang dipilih? Dan ini memang bukan untuk pertama kalinya. Memang sedikit menjadi beban baginya. Dia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah berharap kepadanya. Tapi tidak apa, itu menjadi celah baginya untuk meraih mimpinya. Atas tekad dan keyakinannya yang kuat, dia selalu menerima apapun hasilnya. Dan memang selama ini hasilnya tidak pernah mengecewakan.
~Ya begitulah, Tuhan tidak akan pernah mengecewakan hambanya~. Yakinlah akan hal itu.
      Di sisi lain atas semangat juang dalam menggapai mimpi, Ristya selalu teringat akan kehidupan masa lalunya. Dia telah gugur dalam lingkup kebahagiaan yang kekal. Hati kecil memang tidak bisa untuk di bohongi. Raga selalu kuat untuk menerima semua kenyataan. Tapi hati kecil selalu terngiang akan peristiwa masa lalu. Kini, tugasnya hanyalah tinggal membahagiakan ibunya.
      Tidak pernah sekalipun ayahnya memberi kabar. Sekedar sapapun bahkan tidak pernah. Mungkin ayahnya telah bahagia dengan keluarga barunya. Sakit tapi tidak berdarah. Ya, Ristya merasa sakit hati akan keputusan ayah yang memilih untuk berpisah dengan keluarganya. Tapi bagaimana lagi? Seiring dengan berjalannya waktu, dia telah menerima dengan keadaan lapang dada. Tak pernah terkira dalam angannya. Tapi ini sudah takdir, tidak bisa dipungkiri. Bersyukurlah selalu atas apa yang menjadi kenyataan. Belajar lah dari peristiwa yang sudah berlalu. Jangan sampai, hal itu akan terjadi di masa yang akan datang. Berdo'alah selalu, semoga dijauhkan selalu dari kenyataan yang pahit.
      Sabtu malam, Ristya dengan ibunya mempunyai kebiasaan yang dimana selalu menonton TV bersama. Disertai dengan bercengkrama, cemilan yang begitu penuh dan canda tawa yang datang dengan sendirinya. Bukan fake smile.
''Eh bu, jangan nonton gossip dong. Gak asik. Mending kita nonton film FTV aja, gimana?'' ucap Ristya dengan mulut berisi cemilan.
''Ah kamu, FTV terus. Gak bosen apa? Nanti kalau kamu nonton film FTV, ibu pasti dikacangin deh.'' Balas ibu dengan mengambil remot yang kemudian di genggam erat-erat.
''Ya tidak akan dong bu, emang ibu mau jadi kacang? Haha ..'' ucap Ristya sembari tertawa lepas.
''Bukan begitu maksud ibu ris......'' sejenak ucapan Ibu terjeda.
''Iya iya ibu aku mengerti, bercanda ko. Yasudah bu, sekarang mending pindahin ke FTV aja.'' Balas Ristya.
''Eh gimana kamu di sekolah? Belajarnya lancar? Gak pernah macem-macem kan?'' Tanya ibu.
''Baik-baik aja ko bu aman. Do'akan aku untuk dimudahkan dalam belajar ya bu.'' Balas Ristya meminta do'a.
''Tanpa dimintapun, ibu selalu memanjatkan do'a untukmu ris.'' Balas ibu.
*Part 7*
      Kini, Ristya sudah beranjak remaja dan waktunya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ristya masuk sekolah SMA Negeri 1 Pandelan. Ya, sekolah favorit itu menjadi satu-satunya impian Ristya dari semenjak SD.
''Selamat ris kamu masuk SMA yang kamu impikan. Lagi dan lagi ibu menjadi saksi atas terwujudnya impianmu.'' Ucap ibu.
''Iya bu aku pun sangat bangga. Tidak ada yang sia-sia atas apa yang aku usahakan.'' Balas Ristya.''
''Ibu tidak menyesal melahirkanmu ris.'' Balas ibu dengan tatapan mata yang sedikit sendu.
''Ngomong-ngomong ibu tidak ada niatan untuk mencarikan aku ayah baru bu? Hehe.'' Ucap Ristya dengan tersenyum jaim.
''Ih kamu bicara apa sih ris. Memangnya kamu mau?'' balas ibu dengan suasana serius.
''Ya mau dong bu, pasti ibu juga mau kan?'' ucap Ristya.
''Ibu tergantung dengan keinginan kamu, di sisi lain hati kecil ibu masih trauma dengan masa lalu. Ibu tak ingin masuk ke dalam lubang yang sama lagi. Sakit rasanya, tidak ada mampu menghapuskannya secara utuh.'' Balas Ibu dengan memelas.
Ibu bergumam dalam hati :
      Apa yang harus aku lakukan? Ristya sudah beranjak remaja. Mungkin dia membutuhkan sesosok ayahnya lagi. Bukan dengan sosok yang seperti dulu. Akupun merasakan akan hal itu. Aku pun membutuhkan pendamping untuk menjalani hidup. Sepi rasanya ketika harus menjadi hidup oleh dua orang saja. Tapi tetap saja, luka yang dulu masih sedikit membekas. Aku takut hal itu akan terulang kami. Tidak, jauhkan aku akan hal itu.Â
''Ibu jangan sedih terus ya, kalau ibu sedih aku ikut sedih.'' Ristya memberi semangat kepada ibu.
''Ibu tidak sedih kok ris.'' Balas ibu polos.
(Ristya melihat jam yang melekat pada tangan kanannya)
''Aduh! Sudah telat satu jam aku. Untuk pertama kalinya aku tertinggal latihan. Ya sudah bu aku aku pergi latihan dulu ya bu.'' Pamit Ristya.
''Hati-hati ya jangan terlalu kecapean.'' Balas ibu.
''Oke bu siap laksanakan!'' ucap Ristya.
      Seperti biasa, dia melakukan kegiatan rutinitasnya. Ada sedikit informasi penting dari pelatihnya.
''Target kita selanjutnya adalah perlombaan tingkat provinsi Jawa Barat. Disini saya memilih tiga orang untuk maju dalam perlomba. Pertama Naufal Gionan, kedua Monica dan terakhir Ristya Ulfah. Mulai sekarang kalian harus lebih serius dalam latihan.'' Ucap pelatih.
''Ketiga orang yang telah disebutkan tadi, akan dibimbing untuk lebih matang lagi. Jadwal kegiatan latihan khusus untuk kalian adalah hari Senin, Rabu, Jumat dan Sabtu. Tidak ada yang absen. Semua harus hadir.'' Ucap pelatih lainnya.
''Baik sekarang untuk nama yang telah disebutkan untuk memisahkan diri dan mulai latihan dengan serius.'' Ucap pelatih pertama.
''Siap komandan! Berangkattttttttttt ...'' sapa Ristya dengan penuh semangat.
      Sudah tidak heran lagi jika Ristya yang selalu maju dalam ajang lomba. Pelatihpun tidak akan semata-mata memilih Ristya tanpa sebab. Dan dia pun selalu men-acc nya dengan penuh rasa semangat. Semangat yang tidak pernah padam, membuat ibunya menjadi tersentuh. Apalagi kalau melihat perjuangannya dulu ketika dia ingin mnejadi seorang atlit dayung. Ah, membuat hati menangis berhari-hari.
      Setelah latihan selesai, Ristya segera bergegas untuk pulang ke rumah. Begitu semangatnya dia. Ya, mungkin karena dia akan membawa kabar gembira. Kabar gembira selalu, jarang membawa kabar sedih.
(Sampai di rumah Ristya)
''Ibu, aku terpilih kembali untuk maju dalam lomba dayung tingkat provinsi. Aku sangat membutuhkan do'a restu dari ibu. Jika nanti aku lolos tingkat provinsi maka aku akan masuk tahap nasional bu. Sedih bercampur dengan terharu bu.'' Ucap Ristya dengan penuh semangat.
''Ibu sangat bangga padamu ris. Sungguh ibu tidak pernah menyangka. Semua impianmu telah kamu capai satu persatu. Kamu tidak pernah menyerah, sekalipun orang-orang mencacimu. Sungguh semua ini diluar ekspetasi ibu. Ibu yakin, kamu akan menjadi atlit nasional yang dibanggakan oleh banyak orang. Percayalah akan hal itu''. Balas ibu dengan memeluk erat Ristya.
*Part 8*
      Tepat hari ini. Aku beranjak naik kelas 11 (dua  SMA). Masih dengan teman seperjuangan seperti kelas sebelumnya. Memang, tiga tahun lamanya aku akan terus bersama dengan teman-teman sekarang. Sedikit bosen, wajar saja. Tapi tidak apa-apa karena selalu ada teman-teman sejatiku yang senantiasa membuatku nyaman untuk berada di kelas.
      Tepat hari senin.
''Ayo ris jangan lama, kita harus segera pergi ke lapang. Upacara akan segera dimulai. Guru-guru dan osis pun sudah jaga di depan kelas kita.'' Ajak Nina salah satu temannya.
''Sebentar aku ambil topi dulu.''
  (Merekapun segera pergi ke lapang)
''Upacara telah selesai, dewan guru beserta staf Tata Usaha dipersilahkan meninggalkan lapangan upacara.'' Terdengar protocol ditemani riuh piuh suara murid-murid.
''Ris antar aku ke kantin sebentar yu, aku tidak membawa bekal nasi untuk istirahat.'' Ajak Nina.
''Asal jangan belok-belok loh ya.'' Balas Ristya.
''Yaiyalah pasti belok, kalau kita teru lurus bisa-bisa kita nabrak tembok. Balas Nina sembari tertawa.
''Ih bukan begitu maksudku. Maksudnya (terhenti karena ucapan Nina).''
''Sudah, yu kita lari biar cepat.'' Ajak Nina.
      Sesampainya di kelas, Ristya merasa sedikit heran karena dirasanya ada yang aneh.
''Nin kamu tahu ga siapa yang menaruh makanan sebanyak ini?'' Tanya Ristya penuh misterius.
''Cieeeeee Ris kamu mulai berinta ya, asik di kelas kita ada hot news nih teman-teman.'' Ucap Pina yang memang type orang yang sedikit tengil.
''Stttt pin. Aku malu, aku sendiri tidak tahu siapa orang menaruh makanan sebanyak ini. Dan anehnya mengapa dia tahu minuman kesukaanku ini.'' Balas Ristya dengan penuh kebingungan.
''Dugaanku sih merujuk pada dia. Tapi akupun belum yakin seutuhnya. Kita lihat ke depannya apakah benar memang dia yang selama ini menjadi pengagum rahasia kamu itu. Balas Nina tertuju kepada salah seorang lelaki dikelasnya.
      Perasaan Ristya semakin rishi. Dia ingin segera pulang. Dia ingin menceritakn semua ini kepada ibunya. Karena untuk pertama kalinya dia seperti itu. Mungkin memang karena dia masih polos.
  (Sesampainya di rumah)
''Ibu tadi kan habis upacara aku mengantar Nina untuk ke kantin. Namun ketika aku samapi di kelas, tiba-tiba mejaku penuh dengan makanan dan minuman kesukaanku. Aku pun tidak tahu siapa itu yang menyimpannya.'' Tanya Ristya dengan hati-hati yang berdebar-debar.
''Sudah, abaikan saja. Lalu kamu kemanakan makanan itu?'' balas ibu.
''Dimakan teman-temanku bu.'' Jawab Ristya begitu polosnya.
''Baiklah kalau begitu. Sudah sana kamu segera ganti baju.'' Balas ibu. Â Â
*Part 9*
      Hari menunjukkan pukul 04.00 WIB. Udara yang masih segar. Keadaan yang sepi jauh dari kata kebisingan. Kamis, jadwalnya untuk ulangan Biologi. Ya, mata pelajaran yang menjadi kesukaannya. Pagi hari memang menjadi andalannya untuk menghafal.
''Ris kamu sedang apa? Ko belum mandi? Ini kan sudah waktunya kamu mandi. Pasti kamu sedang menonton film FTV lagi ya? Haduh, kamu masih belum berubah saja. Sejak dulu sampai sekarang kamu sudah SMA, masih saja asik nonton film FTV.'' Ucap Ibu penuh keheranan.
''Ibu suka fitnah deh, aku lagi mengahafal untuk ulangan bu. Ibu tertipu haha.'' Balas Ristya dengan penuh senyuman.
''Yasudah cepat mandi.'' Suruh ibu kepada anaknya.
 (Sesampainya di sekolah)
''Hah? (wajah Ristya dengan heran). Siapa lagi sekarang menyimpan makanan ini kembali?'' Tanya Ristya.
''Sini-sini ris. Tenang dulu, kamu tidak usah takut. Selama ini yang sering menyimpan makanan di mejamu adalah Linggar. Bagiku, dia adalah sosok laki-laki yang romantic. Pintar, Ketua Kelas atau sering dibilang KM, baik, ramah, dan rajin. Ah sudah lah cocok denganmu. Aku sebagai sahabatmu dukung kalian.'' Ucap Nina.
''Apa sih kamu Nin, aku sedang focus cita-citaku. Kamu sendiri kan sudah mengetahuinya. Aku takut, jika nanti aku meresponnya cita-citaku akan terganggu. Apalagi dengan Ibu, aku harus membahagiakannya.'' Balas Ristya dengan wajah memelas.
''Eh ris kamu sudah remaja. Wajar saja jika ada yang menyukaimu. Jangan terlalu serius, nanti kamu stress.'' Jawab Nina penuh humor.
''Aku mengerti tentang itu ko, tapi keyakinanku akan tetap itu tidak bisa diganggu gugat. Aku masih focus cita-citaku yang masih harus aku capai.'' Balas Ristya kepada Nina.
''Yasudah. Itu hak kamu. Aku hanya menyampaikan amanat saja. Kamu sedang focus mengejar mimpi untuk menjadi atlit dan dia sedang focus mengejar untuk menjadi akmil. Ah cocok deh kalian, ko jadi aku sih yang baper sendiri.'' Ucap Nina tersenyum-senyum sendiri.
''Hey masuk ada ibu gaissssssssss.'' Ucap Rinda dengan nada ngegas.
 (Mereka melakukan proses belajar mengajar dengan baik)
*Part 10* Â
      Hari ini adalah hari yang menengangkan bagi Ristya, karena untuk pertama kalinya dia mengikuti ajang lomba tingkat provinsi.
''Ibu aku berangkat dulu ya, do'akan aku supaya aku menang juara 1 dan pulang membawa mendali juga jutaan uang rupiah.'' Ristya meminta restu do'a.
''Ibu yakin kamu akan juara 1 dan lolos masuk tingkat nasional. Percayalah nak.'' Balas ibu dengan wajah pucat.
''Aku lihat, hari ini ibu seperti yang sakit. Ibu sakit? Jangan-jangan karena kecapean kerja ya bu?'' Tanya Ristya dengan penuh tanda Tanya.
''Tidak nak. Ibu baik-baik saja. Ayo sana pergi, nanti kamu tertinggal ole teman-temanmu.'' Balas ibu dengan nada lembut.
''Siap bu aku berangkattttttttt.'' Ucap Ristya seperti biasanya.
      Setelah sampai lokasi lomba, dia segera mempersiapkan diri. Dia mendapat nomor urutan pertama.
''Semoga keberuntungan berpihak kepadaku. Nomor urut satu, juara pun harus nomor satu.'' Ristya bergumam dalam hati dengan pernuh harap.
      Semua peserta loma telah menampilkannya. Kini, tinggal pengumuman juara lomba.
''Baik. Untuk semua peserta maupun coach (pelatih) diharapkan berkumpul mendekati sumber suara. Kalau sudah semuanya berkumpul, saya akan mengumumkan yang menjadi pemenang nomor satu dan masuk ke dalam tingkat nasional. Juara pertama diraih oleh (serentak keadaan hening). Penasaran? Juara satu diraih oleh Ristya Ulfah Syahna dari kontingen Bandung.'' Kata MC.
      Seketika keadaan menjadi riuh gemuruh dengan dipadati beribu-ribu orang. Tangis bahagia terlihat dari wajah Ristya. Ternyata, apa dikatakan ibunya benar. Do'a seorang ibu memang mustajab. Ibunya yang tidak pernah berhenti dalam mendo'akannya. Namun, dia terfokus kepada laki-laki berbaju merah yang berlarian kesana dan kemari seperti yang sedang mencari-cari seseorang namun tak kunjung ditemuinya. Ternyata laki-laki itu semakin mendekat ke arah Ristya.
''Ristya ........'' Ucap laki-laki berbaju merah sembari berteriak ditengah kerumunan orang yang tertuju padanya.
''Om beni! (Dia merasa terkejut) ada apa jauh-jauh om kesini? Pasti mau tahu kan aku juara keberapa? Aku juara satu om, dan ini mendalinya. Dan aku lolos ke tingkat nasional.'' Balas Ristya sembari memeluk.
(Omnya segera melepas pelukan dengannya) ''Bukan itu yang menjadi tujuan utama om, ayo cepat pulang. Ibu sedang tidak baik-baik.'' Ucap Omnya sembari menarik tangan Ristya untuk segera bergegas pulang.
''Ada apa dengan ibu om?'' Tanya Ristya detak jantung pun semakin berdebar-debar.
      Omnya hanya terdiam. Sampailah dirumah ibu.
''Ibu? (Ristya menangis) Ibu meninggal om? Bilang padaku siapa yang menyebabkan ibu meninggal? Aku pasti mimpi kan? Ibu ga mungkin meninggal. Aku yakin ibu hanya sedang tidur. Ibu .... Bangun. Apakah ibu tega meninggalkan aku sendirian? Dulu ayah yang meninggalkanku, dan sekarang ibu. Tadi sebelum berangkat, ibu bilang aku akan juara pertama. Dan sekarang, semua terwujud bu. Bangun bu ....'' Ristya menangis dengan memeluk jasad ibunya yang sudah terbalut kain kafan.
      Semesta kembali membuatnya kecewa. Ristya benar-benar rapuh. Dia telah kehilangan sebagian motivasi hidupnya. Kini, Ristya tinggal sendirian. Ibunya telah menjadi saksi akan keberhasilannya. Ibu yang selalu memberi semangat, meyakinkan dirinya, dan tidak pernah lepas mendo'akannya. Kini dialah yang harus senantiasa mendo'akan ibunya. Hari ini menjadi saksi sejarah akan kematian ibunya. Kini, canda tawanya, semangatnya, kasih sayangnya, perhatiannya hanyalah tinggal kenangan.
''Seandainya tadi aku tidak berangkat untuk lomba, pasti aku masih bisa bersama ibu. Ibu mengkhianati janji untuk terus menemaniku hingga aku menjadi atlit nasional. Aku gagal membahagiakan ibu.'' Ucap Ristya seperti yang tidak ada semangat hidup.
Untuk terakir kalinya Ristya menulis dalam selembar kertas yang ingin dia simpan berdekatan dengan makam ibunya.
      ~Aku sukses dan tidak gagal dalam meraih semua impian dan cita-citaku. Namun aku gagal dalam menemani ibu sampai detik terakhir ibu pergi. Ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya. Ketika ibu pergi dan tidak pernah kembali, akankah ayah datang kembali meski hanya sekedar menyapa? Tidak mungkin bagiku. Terimakasih untuk ibu, karena telah menjadi saksi atas tercapainya semua cita-citaku. Kini, semua hanyalah tinggal kenangan. Aku berjanji tidak akan pernah menyerah. Aku berjanji untuk selalu mengejar cita-citaku. Aku persembahkan kejuaran pertama ditingkat provinsiku untuk ibu. Nanti, aku akan persembahkan kembali untuk ibu, ketika aku sudah menjadi atlit nasional. Terimakasih untuk selamanya. Semoga ibu tenang disana. Tunggu aku bu. I love you forever~         Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H