Lumbung terpekur dalam kesunyian. Hamparan laut otaknya kembali bergelombang. Ombak datang bergulung-gulung dengan dahsyatnya. Angin bertiup dengan kencangnya.Â
Lumbung kalang kabut dengan apa yang baru saja ia diskusikan dengan Aven. Lumbung tahu, Aven tidak pernah mengatakan dengan jelas tentang agamanya, tapi ia tahu betul cara beragama. Sedangkan Lumbung menjadi serba sok paling benar dalam beragama sehingga mudah sekali memvonis Aven dengan vonis yang semena-mena.Â
Gulungan ombak yang dahsyat dan tiupan angin yang kencang itu perlahan melemas. Sayup-sayup udara kesadaran mulai menggantikan peran ombak dan angin. Lumbung di ambang batas dunia baru; pemikiran baru yang akan terus ia nikmati sampai nanti.Â
Lumbung masih terpekur, tapi tangan kasar Aven sudah hinggap di bahu kanannya. Lumbung sedikit terkejut dan senyum kecil terlempar gratis dari bibir Aven untuknya.
"Hei, Mbung! Sedang memikirkan apa?"
"Aku berpikir ternyata nasibku sungguh sangat sial."
"Kenapa memangnya?"
"Karena aku mengenalmu!"
"Bilang saja bangga. Tidak usah bermain kata-kata."
"Mana kopinya?"
"Nih!" Telunjuk Aven mengarah tepat pada cangkir yang berdiri kukuh di atas lepeknya. Tangan itu tidak segera menyerahkan cangkir kopi kepada Lumbung. Hanya saja lubang hidungnya makin mengembang, berebut aroma kopi dengan hembusan angin malam. Aven tidak pernah ikhlas menjadi yang kedua sebagai penghirup aroma kopi. Aven tidak ingin angin malam lebih dulu melumat tradisi minum kopinya. Aven ingin lebih sempurna menikmati kopi. Di sebelahnya, Lumbung hanya menggelengkan kepala.Â
"Kopi ini sangat pas dengan suasana malam ini. Riuh langit mengisyaratkan sesuatu. Dan aku tahu, kopi tubruk dengan perbandingan dua sendok kopi dan setengah sendok gula adalah takaran yang sempurna. Jika kurang manis, ada senyum gemintang!"
"Seberapa penting kopi buat kamu?"
"Tidak penting untuk diukur. Yang jelas, aku lebih memilih menyelamatkan kopi dari pada menyelamatkanmu saat dapurmu kebakaran!"
"Memangnya aku lumpuh?"
"Sekarat!"
"Kunam!"
Setelah menikmati selepek kopinya, Aven menyerahkan cangkir kopi itu kepada Lumbung. Aven kemudian melangkah ke depan. Lalu duduk dengan kaki menggantung di udara. Pandangannya lurus ke depan, jauh, sangat jauh.Â
Di belakangnya, Lumbung hanya bisa mengamatinya. Ia tidak mungkin berani duduk di sebelahnya. Trauma jatuh dari pohon mangga samping rumah masih tumbuh subur di kepalanya.Â
Lumbung tetap pada tempatnya. Suasana semakin hening. Hanya suara kelelawar yang sedang menangkap serangga kecil yang bisa terdengar oleh telinga mereka. Sesekali suara tokek juga ikut ambil bagian.Â
Ingin saja Lumbung meninggalkannya. Tapi ribuan pertanyaan masih antri untuk digelindingkan. Berkali-kali ia berniat untuk segera tidur, tapi berkali-kali pula ia membatalkannya. Lumbung masih ingin tahu banyak tentang apa yang sedang terjadi pada sahabatnya itu.
"Mau sampai kapan kamu menggantung kakimu di situ?" tanya Lumbung sambil menyiram lidahnya dengan kopi.
"Sampai bintang-bintang itu tidak indah lagi. Kalau kamu mau tidur, silakan. Jangan memaksa untuk berada di sini!"
"Aku masih banyak pertanyaan buat kamu. Kapan kamu siap?"
"Sekarang juga siap!"
"Tapi jangan di situ. Nanti kamu lompat ke bawah saat tidak bisa menjawab pertanyaanku."
"Brengsek! Pertanyaan apa pun juga mampu kulahap."
"Mulia sekali sabdamu!" seru Lumbung.
Mendengar respon Aven yang seperti itu, Lumbung bergegas meletakkan cangkir kopi yang sejak tadi duduk manja di atas telapak tangan kirinya. Ia berjalan ke arah Aven. Lalu dengan cepat menarik bahu kanan Aven.
"Kita duduk di situ, Ven!" Telunjuk Lumbung mengarah tepat ke arah kursi kayu yang berdiri di pojok loteng. Aven tidak menjawab. Ia hanya lekas berdiri dan berjalan menuju kursi kayu itu.
"Kamu mau tanya apa? Kamu kelihatan sangat serius."
"Tidak ada yang serius. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu bisa sampai sini bersama Lalang?"
"Tuhan itu memang Maha Pemberi Kejutan, Mbung! Tuhan mengirim Lalang khusus untuk menemani hidupku."
"Picisan sekali!"
"Aku serius. Ini seperti mimpi. Tapi ini nyata. Ini juga seperti dejavu. Aku seperti telah hidup bersamanya ratusan tahun yang lalu."
"Terlalu jauh mengkhayal."
"Semua itu karena Kun!"
"Jiah! Ada apa dengannya?"
"Ia habis kerasukan jin. Pagi buta ia ke kamarku."
"Loh, bukannya ia rutin seperti itu?"
"Tapi kali ini ia tidak hanya minta kopi. Ia bercerita tentang Bang Udin!"
"Bang Udin siapa?"
"Kamu tanya aku, lalu aku tanya siapa?"
"Jangan bilang kamu mau mencarinya! Kun itu sedang ngigau kamu percaya!"
"Tidak, Mbung. Kali ini ia serius."
"Terus apa yang membuatmu seantusias ini?"
"Aku hanya ingin melihat cara Bang Udin minum kopi!"
"Kamu 95% telah gila!"
"Tidak. Aku yakin Bang Udin itu ada!"
"Lalu di mana orang itu?"
"Tidak tahu!"
"Kali ini kamu 100% gila!"
"Aku telah berjanji pada dunia! Aku akan berpelukan dan ngopi dengan Bang Udin."
"Bagaimana orang itu?"
"Aku belum tahu. Kun hanya bilang hampir semua orang di daerah dukuh Paruk mendewakannya. Tidak hanya jalan. Beberapa makanan juga mereka namai Bang Udin. Fenomenal, bukan?"
"Di mana daerah itu?"
"Jawa Tengah."
"Petunjuk arahnya?"
Aven bungkam. Dua bahunya terangkat. Lumbung belum puas.
"Jawa Tengah, kan, luas?"
"Aku sudah tahu itu"
"Bagaimana kamu bisa sampai ke sana?"
"Hanya orang ini yang bisa membawaku sampai ke sana!" Aven menyerahkan secarik kertas yang tersimpan rapat di saku celana. Lumbung menyambar kertas itu. Dengan cepat jari-jarinya membuka kertas yang terlipat dengan sangat tidak beraturan itu.
Mendadak mata Lumbung terbelalak. Ia terlihat sangat tidak percaya dengan tulisan yang ada di carik kertas itu. Dalam kertas itu hanya tertulis dua kata: AHMAD TOHARI[1]. Beberapa saat dalam keterkejutan, perlahan Lumbung mulai landai.
Â
"Kamu tahu siapa Ahmad Tohari?"
Â
"Asu! Meski aku DO, jiwa sastraku masih kuat. Ya pasti tahu, lah."
Â
"Oalah, Ven! Kamu itu goblok apa mengong[2]? Apa hubungannya dengan Bang Udin?"
Â
"Mungkin berasal dari dukuh yang sama. Atau mungkin, ia yang telah menulis sejarah Bang Udin. Berarti bagus, dong!"
Â
"Bagus bagaimana?"
Â
"Petunjuknya jelas!"
Â
"Terserah kamu. Jangan sampai ada berita di televisi tentang pencarian orang hilang!"
Â
"Kamu lupa, Mbung! Semesta itu rumahku."
Â
"Lalang?"
Â
"Ada apa dengan Lalang?"
Â
"Hei, kampret! Maksudku bagaimana Lalang bisa sampai sini?"
Â
"Oh, Itu. Ambilkan kopiku dulu!"
Â
Lumbung berdiri. Tangan kanannya meraih cangkir yang berjarak sehasta di belakangnya. Aven tersenyum puas. Malam itu, ia bisa merajai Lumbung. Hatinya bersorak sorai penuh kemenangan.
Â
"Ini!" seru Lumbung sambil menyerahkan cangkir kopi. Aven menyambutnya dengan gaya tidak butuh. Aven ingin lebih lama merajai Lumbung.Â
Â
"Trims!"
Â
"Lalang?"
Â
"Iya-iya. Nggak sabaran."
Â
"Jangan mengulur waktu!"
Â
"Aku ketemu Lalang di bus. Ia naik dari daerah Pait."
Â
"Ia orang situ?"
Â
"Bukan. Rumahnya Malang. Ia menuju Kediri. Tapi hati kecilnya menurunkan ia di Pait. Itu katanya."
Â
"Lalu bagaimana ia bisa sampai di sini, di rumah ini?"
Â
"Aku yang mengajak ia ke sini."
Â
"Ia tampak tidak ragu sama sekali."
Â
"Ia melihat malaikat di jidatku!"
Â
"Oh..."
Â
"Ia dalam pencarian juga. Ia bercerita banyak tentang adiknya, Cemara. Adiknya kabur dari rumah."
Â
"Dengan tujuan yang sama? Kebetulan yang keren sekali."
Â
"Tidak. Ia ke Jogja dan aku ke dukuh Paruk itu."
Â
"Kamu tidak tertarik dengan ia?"
Â
"Sejak kemarin-kemarin. Ceritanya."
Â
"Cerita apa?"
Â
"Cemara."
Â
"Ada apa dengan Cemara?"
Â
"Ia ingin pergi dari rumah kacanya. Kenapa, sih?"
Â
"Rumah kaca? Aquarium? Aneh-aneh saja."
Â
"Dunia ini bukan duniamu! Banyak hal yang kamu lewatkan. Kamu memang tidak mati. Tapi pulang ke gelapan."
Â
"Aku tidak ingin masuk dunia yang dihuni orang yang 100% gila."
Â
"Memaksa masuk juga tidak akan bisa. Kamu lebih pas, cepat-cepat mandi lalu ke Masjid."
Â
"Lalu bagaimana Cemara?"
Â
"Kami mencarinya. Berdua. Tidak ada yang lain."
Â
"Kamu juga ikut Lalang mencari Cemara?"
Â
"Perjalanan itu akan panjang. Hatiku bekata, aku harus ikut dengannya."
Â
"Apa Lalang berkenan?"
Â
"Pertanyaan goblok!"
Â
"Kamu tidak tertarik dengan Lalang?"
Â
"Tidak. Nggak tahu kalau nanti. Hahaha."
Â
"Kamu jangan bohong!"
Â
"Menyebalkan sekali." Aven ingin kabur sebenarnya.Â
Â
"Bohong, kan?" Lumbung semakin menyebalkan.
Â
"Besok aku dan ia harus pergi dari rumah ini. Entah, kapan kami kembali."
Â
"Gila!"
Â
"Kamu suka dengannya? Sudah jadi tabiat. Selalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan pasti gagal." Aven melepas tawa.
Â
"Ngacau."
Â
"Aku tidak sebentar hidup sama kamu. Berbagai kejadian memalukan tentang wanita pernah terjadi pada dirimu."
Â
"Tapi kamu lebih gocik[3] lagi. Tiap malam membedah tubuh wanita tapi giliran ada di depan mata, kamu selalu mati kutu."
Â
"Itu lebih terhormat, Mbung! Karena aku sedang tidak mencintainya."
Â
"Aku mual bersama kamu terus. Aku mau tidur!"
Â
"Peluk mimpimu, Bujang lapuk. Peluk Lalang sekalian!"
Â
Lumbung melangkah meninggalkan Aven sendirian di loteng. Diskusi itu berakhir sudah. Aven masih diam. Matanya tidak berhenti mengamati langkah Lumbung.
Â
Semua menjadi gelap. Jejak-jejak langkah Lumbung sudah benar-benar sirna.Â
Â
Aven masih menikmati gemintang. Aven masih ingin berlama-lama bercumbu dengan bayangan malam. Ia kembali memajukan tubuhnya. Kemudian duduk di pinggiran loteng. Dua kakinya menggantung di udara lagi. Di depannya adalah lautan malam yang tidak bertepi, gelap dan sunyi. Aven menerawang jauh ke depan. Tatapan matanya terlihat hampa. Aven dikepung perasaan yang tidak menentu.
Â
Bukan tipe Aven, jika harus larut dalam pembicaraan seseorang. Ia menjelma menjadi manusia lain. Ia berada dalam penjara Lumbung.Â
Â
Lumbung berhasil menyentuh sisi tersembunyi dalam hatinya. Aven berusaha terus menolak. Namun, yang disampaikan adalah kebenaran. Ia menjadi badai yang terus menerjang. Benteng terkukuh yang dimiliki Aven runtuh. Pertanyaan Lumbung tentang apakah dirinya tertarik dengan Lalang terus menari-nari dalam panggung hatinya.Â
Â
Bagaikan mesin pengisap, pertanyaan itu membawa Aven untuk jatuh lebih dalam lagi. Baginya, itu bukan hanya sekadar negosiasi rasa. Tapi itu sebuah kenyataan yang tidak mungkin untuk diingkari datangnya.Â
Â
Aven sendiri menyadari, warna-warna dalam sisi hatinya berangsur-angsur berubah. Warna merah menjadi dominan di hatinya. Itu bukan warna Aven. Sebab ia, adalah pemuja abu-abu. Aneh. Tak pernah terbaca.
Â
Sudahlah, Aven. Akui saja. Lumbung benar. Meski faktanya, aku akan menggenggam bara cemburu ini. Jangan meledk, Mir. Aku bingung dengan rasa campur-campur ini. Tinggal dirasakan. Dijalani. Sudah. Ah, kamu, Mir. Tak semudah itu. Sulit. Sulit sekali ini.
Â
Aven tahu betul tentang umurnya yang tinggal seumur jagung. Benar kata Lumbung, ia tidak mungkin membebani hidupnya dengan cara membebani orang lain. Baginya, melibatkan orang lain dalam beban hidupnya adalah beban terberat dalam hidupnya. Tapi lagi-lagi, logika kadang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan rasa. Aven tidak bisa mengingkari tentang ketertarikannya kepada Perempuan itu. Namun saat ini, ia hanya ingin menyimpan erat rasa itu dalam kotak baja yang sampai setan pun tak mampu mengintipnya.Â
Â
Aven gamang. Dua kakinya masih mengayun di udara. Beberapa kelelawar kadang mengunjunginya, tapi saat jarak itu tinggal sedepa mereka meninggalkannya. Suasana kembali sepi dan sunyi. Aven menyerah. Ia segera bangkit dari duduknya.
Â
Aven ingin menulis sesuatu dalam lembar putih hatinya.
Â
Lintang Kemukus:
Â
Hari ini begitu melelahkan. Aku masih terus merasakan nyeri dalam tubuhku. Kehadirannya membuatku lebih kuat. Tapi sekuat apa aku melawan kematian? Ia sempurna menjadi peremuan. Di mataku. Di mata mereka. Di mata semesta. Kemukus, telan rasa ini, jangan biarkan ia membacanya. Aku hanya ingin melihat kedamaian. Ketenangan. Bukan tentang kecemasan, atau bahkan ketakutan. Bukan itu. Tapi percayalah, Kemukus. Semua itu berawal dari sunyi lalu ada bunyi. Dan mereka bertanya, maka itu sudah terjawab mengapa ada aku dan ia.
Â
Aven memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya dengan gemintang. Ia bergegas turun dari loteng. Tiba di kamar, Lumbung sudah berada di dunia lain. Aven ingin segera mengejarnya. Ia merebahkan tubuhnya di sebelah Lumbung. Dua matanya terlihat sudah sangat lelah.Â
Â
Napasnya mulai memelan. Lalu hilang ditelan malam. Aven mengejar Lumbung dalam dunia bintang-bintang. Semoga ketemu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H