Â
Aven tahu betul tentang umurnya yang tinggal seumur jagung. Benar kata Lumbung, ia tidak mungkin membebani hidupnya dengan cara membebani orang lain. Baginya, melibatkan orang lain dalam beban hidupnya adalah beban terberat dalam hidupnya. Tapi lagi-lagi, logika kadang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan rasa. Aven tidak bisa mengingkari tentang ketertarikannya kepada Perempuan itu. Namun saat ini, ia hanya ingin menyimpan erat rasa itu dalam kotak baja yang sampai setan pun tak mampu mengintipnya.Â
Â
Aven gamang. Dua kakinya masih mengayun di udara. Beberapa kelelawar kadang mengunjunginya, tapi saat jarak itu tinggal sedepa mereka meninggalkannya. Suasana kembali sepi dan sunyi. Aven menyerah. Ia segera bangkit dari duduknya.
Â
Aven ingin menulis sesuatu dalam lembar putih hatinya.
Â
Lintang Kemukus:
Â
Hari ini begitu melelahkan. Aku masih terus merasakan nyeri dalam tubuhku. Kehadirannya membuatku lebih kuat. Tapi sekuat apa aku melawan kematian? Ia sempurna menjadi peremuan. Di mataku. Di mata mereka. Di mata semesta. Kemukus, telan rasa ini, jangan biarkan ia membacanya. Aku hanya ingin melihat kedamaian. Ketenangan. Bukan tentang kecemasan, atau bahkan ketakutan. Bukan itu. Tapi percayalah, Kemukus. Semua itu berawal dari sunyi lalu ada bunyi. Dan mereka bertanya, maka itu sudah terjawab mengapa ada aku dan ia.
Â
Aven memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya dengan gemintang. Ia bergegas turun dari loteng. Tiba di kamar, Lumbung sudah berada di dunia lain. Aven ingin segera mengejarnya. Ia merebahkan tubuhnya di sebelah Lumbung. Dua matanya terlihat sudah sangat lelah.Â