Aven masih menikmati gemintang. Aven masih ingin berlama-lama bercumbu dengan bayangan malam. Ia kembali memajukan tubuhnya. Kemudian duduk di pinggiran loteng. Dua kakinya menggantung di udara lagi. Di depannya adalah lautan malam yang tidak bertepi, gelap dan sunyi. Aven menerawang jauh ke depan. Tatapan matanya terlihat hampa. Aven dikepung perasaan yang tidak menentu.
Â
Bukan tipe Aven, jika harus larut dalam pembicaraan seseorang. Ia menjelma menjadi manusia lain. Ia berada dalam penjara Lumbung.Â
Â
Lumbung berhasil menyentuh sisi tersembunyi dalam hatinya. Aven berusaha terus menolak. Namun, yang disampaikan adalah kebenaran. Ia menjadi badai yang terus menerjang. Benteng terkukuh yang dimiliki Aven runtuh. Pertanyaan Lumbung tentang apakah dirinya tertarik dengan Lalang terus menari-nari dalam panggung hatinya.Â
Â
Bagaikan mesin pengisap, pertanyaan itu membawa Aven untuk jatuh lebih dalam lagi. Baginya, itu bukan hanya sekadar negosiasi rasa. Tapi itu sebuah kenyataan yang tidak mungkin untuk diingkari datangnya.Â
Â
Aven sendiri menyadari, warna-warna dalam sisi hatinya berangsur-angsur berubah. Warna merah menjadi dominan di hatinya. Itu bukan warna Aven. Sebab ia, adalah pemuja abu-abu. Aneh. Tak pernah terbaca.
Â
Sudahlah, Aven. Akui saja. Lumbung benar. Meski faktanya, aku akan menggenggam bara cemburu ini. Jangan meledk, Mir. Aku bingung dengan rasa campur-campur ini. Tinggal dirasakan. Dijalani. Sudah. Ah, kamu, Mir. Tak semudah itu. Sulit. Sulit sekali ini.