Â
Lumbung sedang berbicara dengan asisten Pak Djan. "Empat, Mas. Campur semua!" kata Lumbung sambil berlalu dari asisten Pak Djan.
Â
"Mas Lumbung, apa tiap hari seperti ini?" Lalang membuka obrolan lagi.
Â
"Ya seperti inilah. Pembelinya kebanyakan bukan orang sini. Kertosono itu jalur istimewa Jakarta-Surabaya. Dua kota yang masih punya hubungan kekerabatan, begitu kata orang-orang," jawab Lumbung menjelaskan. Lalang mengangguk-angguk kecil. Ia masih ingin banyak bertanya. Tapi pesanan keburu datang. Siap memenuhi perut mereka. Memanjakan mereka. Kun pasti sakit hati sekali. Ia, sejak dulu, selalu kepingin kembali ke kota kecil itu. Namun kesempatan masih saja jauh dari harapan. Mirna sudah dua kali. Kun baru sekali. Teman laknat, ia mengumpat di kusen jendela. Lumbung dan Aven baru saja datang dari rumah Pak Djan. Penghianat. Kun terus mengumpat. Lagi. Dan lagi.Â
Â
Suasana tampak tenang. Penuh semangat. Penuh kepuasan. Lidah mereka sedang merasakan sentuhan hasil seni memasak tingkat tinggi. Tingkat dewa. Kahyangan.
Â
Tiap sentuhan menghasilkan reaksi yang berbeda di antara mereka. Lalang mengecapkan lidahnya berkali-kali pertanda sedang dilanda sensasi nikmat yang tak terperi. Lumbung menghela napas dan berucap, rasanya memang tidak lekang oleh waktu. Aven lebih semangat lagi. "Gila, gila. Ini memang gila!" Setelah itu hening. Mereka kembali asik dengan pincuk[3] yang ada di tangan masing-masing. Sihir Pak Djan menelan mereka semua.
Â