Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-10

2 September 2024   20:57 Diperbarui: 2 September 2024   21:06 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Hari menjelang petang. Warna jingga mulai menebal di cakrawala sana. Lalang masih di kamarnya. Sedangkan Lumbung dan Aven sedang asik berbincang di beranda. Dua cangkir yang mengepulkan asap terpampang manja. Petang itu, mereka sedang menikmati suasana pergantian tahta. Matahari yang sejak dua belas jam yang lalu mengedari bumi yang mereka injak akan segera pamit untuk mengedari belahan bumi yang lain. 

Ada beberapa burung walet yang melayang-layang di udara. Kehadirannya semakin memperindah upacara pergantian tahta itu. Empat mata yang ada di beranda hanya bisa mengaguminya.

 Namun tidak cukup itu. Selang beberapa waktu, muncul sekawanan kalong dan kelelawar mencari serangga yang terlambat pulang ke rumah. Gerakan lincahnya menjadi sajian gratis dua manusia yang sedang duduk manis di kursi beranda. 

Parodi walet, kelelawar, kalong dan serangga yang pulang terlambat semakin sempurna saat suara prenjak mulai terdengar menyalak-nyalak di antara pemeran parodi itu. Kata Lumbung, burung cantik itu sedang sibuk menidurkan anak-anaknya.

Eksistensi siang yang terang benderang benar-benar tinggal khatamnya. Suara prenjak telah mereda. Karena anak-anaknya sudah mulai mengatub. Sekawanan walet juga sudah tidak terlihat lagi. Sudah saatnya sang senja menampakkan batang hidungnya. 

Jingga semakin tebal garisnya. Di sana, senja sedang menengadahkan dua tangannya untuk menerima titah dari sang matahari. Matahari pun pamit. Senja mengantarkannya sampai di ufuk barat. Setelah itu, muncullah sang penerima titah yang sah. Ia adalah sang malam; penjagal apa saja yang berbau terang. Namun, Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat gemintang merayunya. Benar kata orang, malam selalu jatuh cinta pada gemintang. 

"Coba lihat senja di atas sana!" kata Lumbung sambil menunjuk senja yang menyala. 

"Memangnya kenapa?" tanya Aven malas. 

"Ia itu umurnya memang pendek. Tapi semua orang selalu mengagumi keelokan wajahnya. Miliaran manusia selalu menyempatkan diri untuk tunduk padanya."

"Ah, kon, ae[1] yang berlebihan!" respon Aven sekenanya.

 

"Ini bukan berlebihan, Ven. Senja itu penggambaran manusia sesungguhnya. Atau, lebih tepatnya tentang umurnya. Umur manusia itu tidak lebih panjang dari senja. Makanya ada istilah mampir ngombe[2]. Itu adalah penggambaran umur manusia yang sangat pendek." Lumbung memulai kebiasaannya. Ia suka sekali berkhotbah di depan Aven. Asu! Kata Aven berkali-kali. 

 

"Sudahlah, Mbung! Ini bukan acara khotbah!" seru Aven cepat.

 

"Kamu selalu begitu jika diajak bicara serius. Tapi saat diajak membedah tubuh wanita kamu paling antusias. Giliran bertemu langsung malah tiarap!"

 

"Itu jelas beda, Mbung! Aku penampilan saja yang gila. Tapi sebenarnya aku itu baik hati dan menjadi idaman para mertua yang malang." 

 

Mereka terus terkekeh karena kelakarnya sendiri. Di bawah pesona senja yang mulai menghilang ditelan malam, dua manusia itu sedang menikmati kebersamaan yang mahal. Sebuah kerinduan yang terbayar lunas. 

 

Gelap pun tiba. Mereka segera beranjak dari beranda. Lumbung menuju Masjid dan Aven menenggelamkan diri di dalam kamar. Dua sahabat dengan karakter yang mustahil disamakan. Tapi hidup memang ajaib dan penuh kejutan. Perbedaan di antara mereka adalah perekat yang sangat kuat.

 

Parodi yang menyajikan bagaimana elegannya senja melukis semesta telah berakhir. Senja pergi entah ke mana. Malam benar-benar telah menunjukkan eksistensinya. 

 

Lalang sudah berdiri di beranda. Sementara Aven masih sibuk dengan pakaiannya. Lumbung segera menyalakan mobil. Acara malam itu adalah mengisi perut sepenuh-penuhnya dengan pecel tumpang Pak Djan.

 

Pecel tumpang. Makanan itu sangat sederhana. Disajikan di wadah sederhana dan dijajakan di warung yang sederhana. Namun, rasa makanan itu memang tidak termaafkan. Rasa yang dihasilkan dari tempe busuk yang terbalut santan itu benar-benar membuat lidah melemas, kemudian meleleh. Kata Lumbung, aneka bentuk lidah sudah merasakan nikmatnya tersiram kuah tumpang Pak Djan. Lidah-lidah itu selalu histeris, katanya menambahkan. 

 

Tepat pukul tujuh malam mereka berangkat. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di warung itu. 

 

Lumbung segera meminggirkan mobilnya. Puluhan motor dan mobil berebut tempat. Parkiran penuh sesak. Warung Pak Djan didemo banyak manusia. Pak Djan lalu kabur? Tidak. Pak Djan pemberani. Satu persatu pendemo diterima dan dilayani dengan baik.

 

"Aku tidak menduga seramai ini." Lalang mengomentari pendemo Pak Djan. Aven hanya diam. Ia dulu juga seperti itu. Kalimat yang sama. Mimik muka yang sama. Sehati? Mirna bilang, itu hanya kebetulan. Hidup itu banyak sekali kebetulannya. Sebab, manusia memang diciptakan seperti jejaring laba-laba. Saling terhubung. Terkoneksi. Nyetrum, celetuk Mirna.

 

"Kertosono bisa nyampai Jakarta berkat jasa Pak Djan!" Lumbung yang ganti mengomentari Lalang. Aven diam, lidahnya sudah berair. Sudah kepingin mengulang kenikmatan itu lagi.

 

"Parkir di sini saja. Kalau mendekat, kita tidak bisa keluar cepat," kata Lumbung sambil turun dari mobil. Disusul Aven dan Lalang.

 

"Lalang, mau campur apa hanya pecel saja atau mungkin tumpang saja?" tawar Lumbung pada Lalang.

 

"Campur saja. Kamu, Ven?" Lalang ganti menawari Aven.

 

"Akhirnya. Aku ikut kamu saja, Nona! Campur. Aku pesankan dua porsi!" jawab Aven penuh semangat. 

 

Lumbung sedang berbicara dengan asisten Pak Djan. "Empat, Mas. Campur semua!" kata Lumbung sambil berlalu dari asisten Pak Djan.

 

"Mas Lumbung, apa tiap hari seperti ini?" Lalang membuka obrolan lagi.

 

"Ya seperti inilah. Pembelinya kebanyakan bukan orang sini. Kertosono itu jalur istimewa Jakarta-Surabaya. Dua kota yang masih punya hubungan kekerabatan, begitu kata orang-orang," jawab Lumbung menjelaskan. Lalang mengangguk-angguk kecil. Ia masih ingin banyak bertanya. Tapi pesanan keburu datang. Siap memenuhi perut mereka. Memanjakan mereka. Kun pasti sakit hati sekali. Ia, sejak dulu, selalu kepingin kembali ke kota kecil itu. Namun kesempatan masih saja jauh dari harapan. Mirna sudah dua kali. Kun baru sekali. Teman laknat, ia mengumpat di kusen jendela. Lumbung dan Aven baru saja datang dari rumah Pak Djan. Penghianat. Kun terus mengumpat. Lagi. Dan lagi. 

 

Suasana tampak tenang. Penuh semangat. Penuh kepuasan. Lidah mereka sedang merasakan sentuhan hasil seni memasak tingkat tinggi. Tingkat dewa. Kahyangan.

 

Tiap sentuhan menghasilkan reaksi yang berbeda di antara mereka. Lalang mengecapkan lidahnya berkali-kali pertanda sedang dilanda sensasi nikmat yang tak terperi. Lumbung menghela napas dan berucap, rasanya memang tidak lekang oleh waktu. Aven lebih semangat lagi. "Gila, gila. Ini memang gila!" Setelah itu hening. Mereka kembali asik dengan pincuk[3] yang ada di tangan masing-masing. Sihir Pak Djan menelan mereka semua.

 

Tentang Kertosono. Kota kecil itu adalah anak kandung kabupaten Nganjuk. Pecel tumpang adalah makanan khasnya. Makanan yang berbahan tempe busuk ini telah melegenda sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. 

 

Warung-warung berjajar rapi di pinggir jalan. Hampir semuanya menyediakan pecel tumpeng. Dengan minuman es teh, kopi dan bandrek. Tapi ada beberapa yang menjual ketan kelapa parut, yang orang Malang bilang itu adalah ketan kicir, tapi jumlahnya sangat minor. Kertosono lebih mengutamakan tempe busuk dari pada yang lain.

 

Hari-hari besar, biasanya hari raya. Banyak sekali orang dari luar kota yang menyerbu daerah kecil itu. Semuanya berharap lidahnya akan tersiram kuah tumpang dan giginya akan mengunyah rempeyek yang lembut dan empuk. 

 

Pecel tumpang disajikan dengan aneka sayuran mentah, semisal daun kemangi dan biji-biji lamtoro muda. Kadang ada juga yang melengkapinya dengan rebusan tauge, kangkung dan daun bayam. Makanan itu menjadi sempurna saat disajikan dengan pincuk yang terbuat dari daun pisang. Nasi yang disajikan biasanya tidak lebih dari satu setengah entong[4] yang berukuran tanggung. Porsi ekstra sedikit ini yang membuat mereka belingsatan. Banyak di antara mereka memesan lagi. Seporsi lagi. Kadang juga, dua porsi lagi. Begitu sejak dulu.

 

Pecel tumpang yang melegenda itu bukan sekadar makanan biasa. Pecel tumpang dengan semua aksesorisnya itu memiliki nilai filosofi yang sangat tinggi. Semuanya saling melengkapi. Satu hilang, maka kekuatan rasanya akan berkurang. 

 

Pecel tumpang adalah miniatur pluralitas bangsa ini. Unsur pembentuknya yang heterogen adalah lukisan nyata dari Bhinneka Tunggal Ika. Pecel tumpang memang terdiri dari bahan-bahan yang berbeda, tapi pada dasarnya mereka mempunyai tujuan yang sama. Bahan-bahan yang berbeda itu hanya ingin menjawab rasa haus akan kenikmatan sebuah makanan. Kenyataan itu senada dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang mengajarkan bahwa perbedaan akan mewujudkan kesatuan yang kukuh. Berbeda-beda tapi tetap satu jua; tetap satu tujuan.

 

Lebih lanjut, makanan sederhana itu merupakan jawaban praktis bagi orang-orang yang mengingkari adanya pluralitas kehidupan. Pecel tumpang mengajarkan pada manusia jika keberagaman itu bukanlah sejenis hantu yang harus dijauhi atau dirapalkan doa-doa agar musnah. Tapi pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang harus dipahami dengan sebijak mungkin. Sehingga upaya pemberangusan terhadap perbedaan itu bisa dihindari sedini mungkin. 

 

Misalnya saja tentang pluralitas agama. Pluralitas agama bukan berarti semua orang harus menyamakan agama yang dianutnya. Namun yang harus dilakukan mereka adalah menyelaraskannya. Sehingga agama satu dengan agama yang lainnya saling memahami teologinya masing-masing. Tidak saling menyalahkan ataupun saling membenarkan. Karena kebenaran ada pada keyakinan individu masing-masing. Agama itu mempunyai standar kebenaran masing-masing. Perbedaan itu adalah anugerah, kenapa manusia harus mengingkarinya?

 

Sementara rempeyek dengan taburan kedelainya adalah gambaran bangsa ini yang terdiri dari ribuan pulau. Rempeyek itu menjadi penegas betapa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan kaya raya.

 

Meski membawa pesan yang sangat mendalam tentang pentingnya mendekati persamaan dan memahami perbedaan, pecel tumpang tetaplah makanan yang sederhana. Potret kesederhanaan inilah yang banyak dicari lidah manusia. Pecel tumpang selalu menjadi primadona. Kekayaan tersembunyi dari kota kecil Kertosono; yang meski kecil, namun memiliki Sejarah panjang. Memiliki kaitan dengan negara adikuasa saat itu; Majapahit. 

 

Beredar kabar, kota kecil itu sebenarnya merupakan benteng terakhir Majapahit. Namanya adalah benteng Kertasana. Lalu nama Kertasana berevolusi menjadi Kertosono. Meski evolusi berjalan sempurna, namun tradisi di masa kerajaan masih terasa sangat kental. 

 

Di kota itu, misalnya, masih bisa ditemui nenek-nenek yang hanya mengenakan kemben dan duduk-duduk di halaman rumah. Pemandangan itu semakin menarik tatkala mereka duduk saling membelakangi. Satu paling depan, kemudian ada yang duduk di belakangnya. Begitu seterusnya. Biasanya sampai lima orang bahkan lebih. Itulah warisan budaya kuno yang terkenal dengan tradisi petan-petan. Tradisi petan-petan adalah aktivitas mencari kutu yang hidup gemuk di antara rambut-rambut. Simbolisasi kekerabatan sangat kentara dari aktivitas itu. 

 

Meski Kertosono terus-terusan digigit waktu, kearifan lokal kota tetap terasa hangat sampai sekarang. Perbedaan SARA tidak bisa menjadi alasan terjadinya gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja, Masjid, Kelenteng dan tempat peribadatan yang lain berdiri kukuh berdampingan. Toleransi horizontal sangat terlihat jika rumah-rumah ibadah itu sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Apalagi dalam momen-momen peribadatan yang besar.

 

Kertosono selalu ramah untuk siapa saja dan untuk umat apa saja. Kertosono adalah cermin keberagaman manusia dengan keyakinannya. Pecel tumpang mengajarkan memahami perbedaan. Kertosono menerapkannya dengan sangat sempurna. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun