Â
Lebih lanjut, makanan sederhana itu merupakan jawaban praktis bagi orang-orang yang mengingkari adanya pluralitas kehidupan. Pecel tumpang mengajarkan pada manusia jika keberagaman itu bukanlah sejenis hantu yang harus dijauhi atau dirapalkan doa-doa agar musnah. Tapi pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang harus dipahami dengan sebijak mungkin. Sehingga upaya pemberangusan terhadap perbedaan itu bisa dihindari sedini mungkin.Â
Â
Misalnya saja tentang pluralitas agama. Pluralitas agama bukan berarti semua orang harus menyamakan agama yang dianutnya. Namun yang harus dilakukan mereka adalah menyelaraskannya. Sehingga agama satu dengan agama yang lainnya saling memahami teologinya masing-masing. Tidak saling menyalahkan ataupun saling membenarkan. Karena kebenaran ada pada keyakinan individu masing-masing. Agama itu mempunyai standar kebenaran masing-masing. Perbedaan itu adalah anugerah, kenapa manusia harus mengingkarinya?
Â
Sementara rempeyek dengan taburan kedelainya adalah gambaran bangsa ini yang terdiri dari ribuan pulau. Rempeyek itu menjadi penegas betapa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan kaya raya.
Â
Meski membawa pesan yang sangat mendalam tentang pentingnya mendekati persamaan dan memahami perbedaan, pecel tumpang tetaplah makanan yang sederhana. Potret kesederhanaan inilah yang banyak dicari lidah manusia. Pecel tumpang selalu menjadi primadona. Kekayaan tersembunyi dari kota kecil Kertosono; yang meski kecil, namun memiliki Sejarah panjang. Memiliki kaitan dengan negara adikuasa saat itu; Majapahit.Â
Â
Beredar kabar, kota kecil itu sebenarnya merupakan benteng terakhir Majapahit. Namanya adalah benteng Kertasana. Lalu nama Kertasana berevolusi menjadi Kertosono. Meski evolusi berjalan sempurna, namun tradisi di masa kerajaan masih terasa sangat kental.Â
Â