"Nak! Kok, ndak bilang kalau Aven dan temannya akan main ke sini. Kalau bilang dulu, pasti Ibu belanja di pasar. Kayaknya Aven sudah kangen dengan masakan desa." Bu Fatma membuka obrolan sambil melirik Aven. Aven memilih cengar-cengir sambil memandangi Lalang. Ia lantas menjawabnya dengan tatapan mata kosong. Lalang belum memahami apa yang Bu Fatma bicarakan.
Â
"Begini, Bu. Aven itu ke sini hanya minta makan. Ndadak pisan[2]." Lumbung menimpali omongan ibunya.
Â
"Ha ha ha. Kamu itu selalu suudzon[3] sama aku!" Aven menyahut.
Â
"Lah, yang cantik ini siapa? Kok ndak dikenalkan pada Ibu? Sudah lama jalan sama Aven?" Peluru Bu Fatma tepat mengenai sasaran. Aven kembang kempis. Ia sesak napas menangkis tembakannya. Aven menata posisi duduknya. Lalu mengambil napas dalam-dalam. Aven ingin membalas tembakan itu.
Â
"Ceritanya sangat panjang. Mirip novel, Bu!" Tembakan meleset. Peluru yang ditembakkan Aven tak sedikit pun mengenai sasaran. Kini mulutnya seperti terekat oleh lem besi. Jangankan untuk mengelak, memberi sedikit penjelasan saja ia tidak mampu.Â
Â
Suasana meja persegi panjang itu semakin hangat. Lalang yang sejak tadi hanya diam, kini tertawa meski hanya kecil. Lumbung tidak bisa menahan diri. Ia melepas tawa yang keras. Bu Fatma hanya memancarkan senyum.