Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-9

2 September 2024   10:05 Diperbarui: 2 September 2024   10:45 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia pamit kepada ibunya. Lumbung berangkat. Suara motor meraung di beranda. Ia melaju. Tergesa. Jarak yang ditempuh sekitar tiga kilometer. Bukan jarak yang jauh. Lumbung hanya butuh waktu tujuh menit untuk sampai di sana.

Aven berseri-seri. Tangannya melambai-lambai pada seseorang yang baru saja turun dari motor. Ia Lumbung. Lalang hanya duduk. Diam, tenang. Tapi ragu. Kenapa aku harus di sini? Di kota ini? Kenapa juga aku ikut lelaki ini?

"Temanku sudah datang. Mari, kita ke sana!" ajak Aven. Lalang hanya mengangguk. Tanpa suara. Ia lalu berjalan mengekor di belakangnya. Terlihat dari ujung sana, Lumbung sedang berjalan menuju ke tempatnya.

 Dua sahabat itu akhirnya berpelukan lama. Utang piutang yang berwujud kerinduan terbayar lunas. Lalang hanya memandangi pelukan itu. Akrab. Lekat. Hangat. Seperti sepasang kekasih. Terpisah jarak. Berbagi rindu hanya melalui angin. Kadang juga mimpi. Kadang juga desau ponsel yang kehilangan jaringan.

"Yuk, kita pulang!" Lumbung menggamit lengan Aven. Aven tidak beranjak. Kenapa? Ia masih berdiri pada posisinya. Lumbung terkesiap.

"Ada apa lagi? Ayo kita pulang dan makan. Jangan mati." 

"Kamu tadi naik apa?" tanya Aven cepat.

"Motor!" jawab Lumbung singkat. Ia tidak menyadari gelagat anehnya.

"Bisa buat bertiga, kan?"

"Lah. Nggak cukup! Ada siapa lagi?"

"Tuh!" Aven menunjuk Lalang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Loh?" Lumbung hanya bisa bengong. Sejak kapan Aven berpergian dengan seorang wanita? 

Ada kelegaan yang tergambar dari wajah Lumbung. Aven, sahabat sejatinya sudah mempunyai pendamping hidup. Lumbung bersyukur atas itu semua. 

Ini merupakan berita yang sangat istimewa bagi Lumbung. Sudah berteman lama dengannya, ia tidak pernah melihat sekalipun Aven dekat dengan seorang perempuna. Ganjil? Ajaib? Kejutan Tuhan? Ibu harus segera tahu! 

"Lalang. Ia aku ajak untuk bertemu denganmu. Tapi yang menjadi tujuan kami bukan kamu. Kami hanya ingin makan kenyang. Pecel tumpang Pak Djan masih menjadi legenda?"

"Lalang aku sewakan ojek. Hargai perempuan melebihi kamu menghargai dirimu!" bisik Lumbung di telinga Aven. 

"Asu!" 

Lalu Aven tersenyum dan terlihat membetulkan kerah kemejanya yang tertarik oleh tangan Lumbung. Aven sudah hafal dengan kesokbijakanya. Masih kolot. Sejak dulu begitu. Mirna pernah salah paham. Ia takut bertemu Lumbung. Takut tidak bisa memakai pakaian seksi. Dan juga mengejar duda. Pacaran. Ciuman. Neraka. Neraka semua.

"Lumbung!" Lumbung mengulurkan tangan mengenalkan diri.

"Lalang!" jawab Lalang sambil membalas uluran tangan Lumbung. Aven tidak tinggal diam. 

"Sudah jangan lama-lama, Gus. Eh Pak Ustaz. Bukan muhrim!"

"???!!!" Lumbung dan Lalang beradu pandang. 

"Ibu sudah menunggu kita. Kita pulang. Maaf sebelumnya. Nanti Mbak Lalang naik itu, yah!" kata Lumbung sambil menunjuk kerumunan tukang ojek.

"Lalang saja. Baiklah. Trims, ya!" Lalang melempar senyum untuk Lumbung. 

Dua motor itu berjalan beriringan. Lumbung membonceng Aven dan ranselnya yang besar. Sementara Lalang naik ojek. 

"Ada yang lagi kasmaran, ya. Ha ha ha!" teriak Aven.

"Hush!" sergah Lumbung. Sok bijak lagi.

"Ha ha ha. Cantik, kan?"

"Cantik!"

"Sialan. Pak Ustaz juga tahu orang cantik!"

"Gemblong[1]. Jangan suka bicara seperti itu! Tidak baik!"

 

"Loh, salahnya di mana Pak Ustaz? Bukankah orang yang suka pakai penutup kepala seperti yang biasa kamu pakai sering dipanggil 'Ustaz'? Apa lagi sudah sok bijak."

 

"Kamu tahu apa artinya 'Ustaz'?"

 

"Tidak!"

 

"Kalau kamu tidak sedang lapar, maka detik ini juga kamu aku turunkan di sini. Paham?" Tangan kiri Lumbung menunjuk ke sungai yang sangat keruh airnya. Karena tidak jauh dari sungai itu berdiri angkuh pabrik kertas yang bau limbahnya bikin pingsan. 

 

"Tuh, kan! Di mana letak kedermawananmu, Mbung?"

 

"Yang jelas tidak perlu aku pamerkan padamu. Percuma tidak membuatku tambah kaya!" Lumbung berseru.

 

Dua sahabat itu terus bercanda. Kerinduan memang kadang membuat orang lupa ingatan. Di sebelah sana, Lalang hanya fokus pada perjalanannya. Ia tampak acuh melihat dua sahabat itu. Bercanda dan tertawa lepas.

 

Motor telah sampai pada tempat tujuannya. Mereka segera merapat dan berhenti di depan rumah Lumbung.

 

Lumbung segera mengeluarkan selembar uang dua puluhan. Lalu mengajak mereka untuk segera masuk ke rumah. Pintu rumah itu sudah terbuka lebar. Ada Bu Fatma, ibu Lumbung, berdiri menyambut ketiganya. Ada senyum teduh di wajahnya. 

 

"Mari silakan masuk semuanya," ajak Bu Fatma ramah. 

 

Setelah bersalaman, mereka berempat bergegas masuk ke dalam rumah yang teduh itu. Aven duduk berdekatan dengan Lumbung. Lalang di sebelah Bu Fatma.

 

"Nak! Kok, ndak bilang kalau Aven dan temannya akan main ke sini. Kalau bilang dulu, pasti Ibu belanja di pasar. Kayaknya Aven sudah kangen dengan masakan desa." Bu Fatma membuka obrolan sambil melirik Aven. Aven memilih cengar-cengir sambil memandangi Lalang. Ia lantas menjawabnya dengan tatapan mata kosong. Lalang belum memahami apa yang Bu Fatma bicarakan.

 

"Begini, Bu. Aven itu ke sini hanya minta makan. Ndadak pisan[2]." Lumbung menimpali omongan ibunya.

 

"Ha ha ha. Kamu itu selalu suudzon[3] sama aku!" Aven menyahut.

 

"Lah, yang cantik ini siapa? Kok ndak dikenalkan pada Ibu? Sudah lama jalan sama Aven?" Peluru Bu Fatma tepat mengenai sasaran. Aven kembang kempis. Ia sesak napas menangkis tembakannya. Aven menata posisi duduknya. Lalu mengambil napas dalam-dalam. Aven ingin membalas tembakan itu.

 

"Ceritanya sangat panjang. Mirip novel, Bu!" Tembakan meleset. Peluru yang ditembakkan Aven tak sedikit pun mengenai sasaran. Kini mulutnya seperti terekat oleh lem besi. Jangankan untuk mengelak, memberi sedikit penjelasan saja ia tidak mampu. 

 

Suasana meja persegi panjang itu semakin hangat. Lalang yang sejak tadi hanya diam, kini tertawa meski hanya kecil. Lumbung tidak bisa menahan diri. Ia melepas tawa yang keras. Bu Fatma hanya memancarkan senyum.

 

"Oh, ya. Saya Fatma. Ini anak saya, Lumbung. Dan ini anak pungut saya, Aven." Kerlingan mata Bu Fatma hampir saja membunuh Aven.

 

"Haah!? Bukan. Lumbung itu lebih mirip tetangga depan rumah. Tuh, orangnya lagi nyapu halaman," Aven memancing semua mata untuk menuju halaman rumah yang dimaksud Aven. Benar saja! Di halaman itu memang ada seorang ibu muda yang sedang menyapu halaman. Bu Marsyiah namanya. Bu Marsyiah adalah wanita dengan dua putri dan satu suami yang sedang berada di luar pulau Jawa. Bu Marsyiah pantatnya selalu megal-megol saat menyapu.

 

"Mirip beneran, yah!" Kali ini Lalang terlihat mulai aktif. Kesan dingin yang ada di air mukanya lenyap sudah. 

 

Suasana semakin cair. Tapi Lumbung tidak terlibat banyak bicara. Dirinya hanya sibuk mencari perlindungan dari serangan mata Lalang. Lumbung seperti tidak berkutik. Beberapa kali sorot mata cantik Lalang bersarang tepat di bola mata dan dadanya.

 

"Sudah-sudah. Mari kita makan. Saya juga belum makan. Tapi kalau Lumbung ini jatah makan keduanya. Mari semua. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri!" ajak Bu Fatma. 

 

Mereka berempat berdiri bersamaan. Bu Fatma berjalan paling depan. Di belakangnya ada tiga manusia yang mengekor. 

 

"Silakan. Maaf, Mbak Lalang. Mungkin Mbak Lalang tidak terbiasa dengan makanan desa," kata Bu Fatma sambil dua tangannya bergerak cepat membuka tutup makanan. Lalang menjadi yang pertama disilakan.

 

"Terima kasih, Bu! Saya asli Malang. Jadi saya sudah terbiasa dengan makanan desa." Suara Lalang begitu lembut. Empat telinga itu khidmat mendengarnya. Lumbung dan Aven tersihir. Keduanya mematung sesaat. Hampir saja mereka lupa dengan perut yang lapar. 

 

"Ini botok lamtoro[4] pedas. Ini botok daun sembukan[5]. Ini urap daun kenikir[6]. Dan, ini sayur ontong.[7]" Jari Bu Fatma dengan sabar mengabsen satu-satu makanan yang ada di meja. Lalang antusias memperhatikannya. Sedangkan Lumbung dan Aven lebih dulu asik memilih makanan yang ada.

 

"Nanti malam, kalian makan di luar saja. Di Kertosono ada makanan khas loh, Mbak Lalang. Orang-orang Jakarta yang biasanya mudik ke Surabaya selalu mampir ke warung itu. Yang punya namanya Pak Djan. Sejak Ibu masih remaja, warung itu sudah ramai." Bu Fatma sepertinya tidak punya rasa capek untuk mengenalkan apa yang ada di sekitarnya kepada Lalang. Lalang selalu antusias menyimaknya. Kode semesta? Semesta yang mendekatkan mereka? inikah takdir yang dimaksud Mirna? Cinta?

 

Suasana kemudian menjadi hening. Hanya suara benturan sendok dan piring Aven yang terdengar menyalak. Beda dengan Lalang yang tidak mengeluarkan satu suara pun dari aktivitas makannya. 

 

Mereka berempat tenggelam dalam kenikmatan makan bersama. Mereka adalah gambaran kebahagiaan yang tak pernah berlabel harga. Hubungan yang hangat di antara mereka terbangun begitu saja. Aven semakin merasa nyaman dengan kehadiran Lalang. Begitu juga dengan Lumbung dan ibunya. Waktu, lemparkan jangkar raksasamu! Singgahlah sejenak dan jangan cepat berlalu. Biar semua yang terlihat ini tak cepat berakhir. Harapan itu terpancar dari mereka. 

 

Meski sesekali ada suara tabrakan sendok dan piring yang terdengar menyakitkan. Namun, mereka tak ingin mendengar. Karena ada suara lain yang lebih mengena di hati dan telinga mereka: Kebersamaan yang hangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun