Mereka berempat berdiri bersamaan. Bu Fatma berjalan paling depan. Di belakangnya ada tiga manusia yang mengekor.Â
Â
"Silakan. Maaf, Mbak Lalang. Mungkin Mbak Lalang tidak terbiasa dengan makanan desa," kata Bu Fatma sambil dua tangannya bergerak cepat membuka tutup makanan. Lalang menjadi yang pertama disilakan.
Â
"Terima kasih, Bu! Saya asli Malang. Jadi saya sudah terbiasa dengan makanan desa." Suara Lalang begitu lembut. Empat telinga itu khidmat mendengarnya. Lumbung dan Aven tersihir. Keduanya mematung sesaat. Hampir saja mereka lupa dengan perut yang lapar.Â
Â
"Ini botok lamtoro[4] pedas. Ini botok daun sembukan[5]. Ini urap daun kenikir[6]. Dan, ini sayur ontong.[7]" Jari Bu Fatma dengan sabar mengabsen satu-satu makanan yang ada di meja. Lalang antusias memperhatikannya. Sedangkan Lumbung dan Aven lebih dulu asik memilih makanan yang ada.
Â
"Nanti malam, kalian makan di luar saja. Di Kertosono ada makanan khas loh, Mbak Lalang. Orang-orang Jakarta yang biasanya mudik ke Surabaya selalu mampir ke warung itu. Yang punya namanya Pak Djan. Sejak Ibu masih remaja, warung itu sudah ramai." Bu Fatma sepertinya tidak punya rasa capek untuk mengenalkan apa yang ada di sekitarnya kepada Lalang. Lalang selalu antusias menyimaknya. Kode semesta? Semesta yang mendekatkan mereka? inikah takdir yang dimaksud Mirna? Cinta?
Â
Suasana kemudian menjadi hening. Hanya suara benturan sendok dan piring Aven yang terdengar menyalak. Beda dengan Lalang yang tidak mengeluarkan satu suara pun dari aktivitas makannya.Â