Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ompyang Jimbe

2 Februari 2023   06:38 Diperbarui: 13 September 2024   08:24 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#2

Malam semakin mencekam. Cericit aneh hewan malam semakin membuat suasana menakutkan. Samad terus berusaha menguatkan dirinya. Mati-matian ia membuang rasa ragunya. Ia terus membayangkan dirinya yang mendadak kaya raya. Tidak perlu bersusah payah bekerja, tapi pundi-pundi hartanya tidak pernah asat.

"Waktunya sudah tiba. Saatnya kita bekerja. Ayok, jangan ragu lagi! Soni berdiri, diikuti Samad dan Ramin. Ketiganya menenteng perlengkapan untuk menggali.

"Kita hanya punya waktu dua jam. Dan jam tiga, kita sudah harus berada di luar desa ini," kata Soni menambahkan. Samad dan Ramin mengangguk.

Tepat pukul 01:01, tiga pemuda itu dengan semangat membara mulai mengayunkan alat-alatnya. Suara cangkul dan sekrop beradu nyaring dengan suara belalang kecrek yang ada di pucuk daun. Kilat-kilat cahaya sisa purnama kemarin menerpa punggung kukuh mereka.

Seperti tidak pernah ada lelahnya, pemuda itu terus melakukan pekerjaannya. Pukul 02:00 pekerjaan mereka selesai.

"Cepat bungkus!" teriak Soni. Diikuti Samad yang mengeluarkan selembar kain yang telah disiapkan sejak kemarin. "Jangan lupa minyaknya." Samad mengangguk. Sementara Ramin membereskan semua peralatannya. Ia memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Apa yang telah mereka gali, kini sudah rapi lagi.

Secepat kilat mereka pergi meninggalkan makam keramat itu. Mereka tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi akibat perbuatan mereka. Yang ada di pikiran mereka sekarang adalah kekayaan yang kekal, penghormatan yang tak pernah ada putusnya.

***

Pagi menjelang. Burung-burung penghuni tetap makam bersahutan dengan bunyi-bunyi yang sumbang. Mereka seperti menyuarakan kepedihan. Tidak seperti biasanya. Kang Suryo yang sejak Subuh sudah berangkat ke sawah menangkap pesan itu. "Ada apa ini?" ia membatin.

Burung-burung itu seperti tak mau berhenti. Kang Suryo terus digoda untuk menangkap pesannya. Tapi ia tak pernah peduli. Sampai matahari menghangatkan daun-daun, Kang Suryo tidak beranjak dari tempatnya berdiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun