Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Laki-laki yang punya prinsip: "Lebih baik menyalakan lilin meski redup, daripada harus mengumpat kegelapan."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ompyang Jimbe

2 Februari 2023   06:38 Diperbarui: 2 Februari 2023   11:47 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi menjelang dengan ditandai suara Cendet yang menyalak di belakang rumah Kang Suryo. Ia bergegas melangkahkan dua kakinya yang sejak kemarin terbebani akan datangnya pagebluk di desa Lemah Agung. Meski berat, ia sampai juga di balai itu; yang di sana sudah ada Pak Lurah yang sedang tertunduk lesu. "Titi wancine, Titi wancine," racau Pak Lurah pelan.

Langit sudah mulai mencerah. Satu demi satu, warga mulai berdatangan. Balai desa Lemah Agung akan mencari solusi terbaik untuk mengahadapi semua akibat dari rusaknya makam Mbah Ompyang.

#7

Balai Agung penuh sesak dengan manusia. Suara dengungan menggema di semua sudutnya. Yang datang sangat berjubel. Sampai-sampai Kang Suryo harus menggelar terpal yang biasanya disewakan ke masyarakat jika ada pakewuh. Mereka duduk berhimpitan. Ada yang saling adu kepulan asap. Ada juga yang sedang nyusoni anaknya dan karena saking sibuknya, kutangnya dibiarkan nglewer. Sehingga sumber ASI kadang menyembul tanpa permisi.

Pak Lurah masih bersiap di kamarnya. Ia merapikan kerah baju yang sebenarnya tidak bermasalah. Ia selalu begitu, kata Bu Lurah. Jika ia cemas, maka ia akan berlama-lama di depan kaca. Bu Lurah tampak biasa saja. Ia belum mendengar perihal makam Mbah Ompyang yang barusan dibikin berantakan sama orang tidak bertanggung jawab. Ia tidak sabar melihat Pak Lurah terus-terusan menatap cermin yang mencetak wajahnya. Ia mendekat ke punggung Pak Lurah. "Pak Lurah, Bu Lurah sudah seminggu ini belum dikeloni, lo." Tertawa kecil, Bu Lurah mencoba mereduksi kecemasan suaminya.

"Aku belum bisa ngaceng, Bune. Ini bukan perkara biasa. Maaf, Bune, dari kemarin aku tidak menceritakan ke Bune." Tegang, Pak Lurah memegang pundak Bu Lurah.

"Ada apa, Pak?"

"Makam Mbah Ompyang dirusak!"

Bu Lurah lemas. Lalu ambruk. Bersandar di kaki ranjang. Napasnya tersengal. Kemudian menangis sejadi-jadinya. "Duh, Gusti. Pagebluk. Panjenengan jangan sampai menebar azab lagi. Cukup darah orang-orang angkatan 65 yang memerah di mataku." Air mata Bu Lurah terus berjatuhan. Pak Lurah semakin cemas. Lalu ia mengambil sepotong kain untuk diberikan ke Bu Lurah.

"Usap tangisanmu. Jangan sampai orang-orang di Balai Agung melihat tangisanmu."

Mereka berjalan beriringan menuju lautan manusia di Balai Agung. Namun dalam hati kecilnya, Pak Lurah berharap tidak akan pernah sampai di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun