Keduanya lalu membujurkan tubuhnya yang kaku. Malam semakin menggelap. Tapi dua manusia itu enggan terpejam.
***
"Maaf, Pak Lurah. Ki Tanggono tidak berkenan." Takut, San Thuk melapor kepada Pak Lurah.
"Pagebluk!"
Pak Lurah meratap. Dua matanya yang panas tidak bisa ia sembunyikan. Lautan manusia di Balai Agung seperti sedang berada di pusaran gelombang. Bingung. Saling berteriak. Nama Mbah Ompyang tidak berhenti mereka rapalkan.
#9
Malam sudah hampir putus. Namun Rudi tidak ingin melewatkannya begitu saja. Ia terus mengajak Jenank berdiskusi tentang Keris Ompyang.
"Kamu itu nggak ngajak diskusi, Rud. Tapi kamu paksa aku mendongeng. Dulu, dulu sekali, aku minta kamu dengerin tentang Nyoni, kamu malah mencermahiku dengan dalil filsafat. Hahaha."
"Anggap saja, dulu aku masih tersesat, Nank!" Rudi meraih cangkir kopi hangat yang tiap mau habis diisi lagi. Rudi butuh kopi banyak. Dua matanya harus terus menyala. "Sebenarnya, Nyoni itu apa? Khodam itu apa?" Dua pertanyaan terlontar begitu saja dari bibirnya.
Jenank mengambil napas sejenak. Lalu menggeleng pelan. Lidahnya harus tersiram kopi. Mendongeng butuh asupan nutrisi yang cukup.
"Secara detail, aku tidak pernah melihatnya sendiri. Cuman aku sering dengar dari mereka yang saban hari selalu berbicara tentang benda pusaka. Menurut orang-orang itu, Nyoni itu adalah kekuatan gaib yang menyertai benda pusaka tersebut. Bisa baik. Bisa jahat. Ada juga yang bilang, Nyoni adalah sang penjaga." Dua mata Jenank menerawang mengingat-ingat sesuatu. "Dulu, aku juga pernah mencoba menjual Merah Delima. Nggak main-main. Sudah deal dengan harga lima miliar, tapi ketika mau dibayar, Nyoninya menolak. Katanya, sang Nyoni tidak ingin pindah ke tempat yang baru. Jadi, aku gagal jadi orang kaya." Jenank tertawa lepas. Rudi bingung sendiri melihat tingkah Jenank, yang tiba-tiba menjadi aneh.