Dua manusia itu masih belum bisa menyeimbangkan tubuhnya. Kegelisahan mengunyah hampir sembilan puluh persen semangat hidupnya. Ia melihat, kiamat yang diujikan itu segera tiba. Melahap semua kehidupan, termasuk dirinya.
Sudah menjadi kabar turun-temurun jika ada apa-apa terhadap makam, maka warga desa akan menelan akibatnya. Dan dua orang di beranda itu menjadi bagian yang mengamini kesepakatan tanpa kertas itu.
"Kita celaka, Kang." Panik, Kang Maman memulai perbincangan lagi. Dengan muka ditekuk, ia terus berusaha berkalimat. "Kita harus menghadap Pak Lurah. Kita harus menyampaikan berita ini. Tapi jangan sampai masyarakat lain tahu. Kita redam dulu. Biar Pak Lurah yang membuat keputusan."
"Iya, Kang," sahut Kang Suryo pendek. Ia juga belum bisa meredam kepanikannya.
Balai desa Lemah Agung tampak lengang. Tidak ada aktivitas seperti biasanya. Memang, hari libur selalu begitu. Tapi biasanya, Pak Lurah akan selalu di sana, bahkan setiap hari. Baginya, tidak ada tanggal merah. Sebab itulah, masyarakat tidak memiliki pilihan lagi. Sudah dua periode menjabat, namun masyarakat tidak ingin ia pensiun. Ia harus bekerja untuk desa yang diingkari perbukitan itu.
Langkah Kang Maman dan Kang Suryo sama gontainya. Sepanjang perjalanan menuju balai desa itu, kecemasan dan kepanikan terus menggerogoti hati. Baru, setelah kaki keduanya melangkah masuk ke area balai, napas lega mereka embuskan berkali-kali.
Kantor Pak Lurah terbuka lebar. Kang Maman dan Kang Suryo bergegas mengetuk dan masuk ke dalam. Mereka duduk tepat di depan Pak Lurah. Keganjilan yang mereka bawa terbaca dengan baik oleh Pak Lurah.
"Kang Maman, Kang Suryo. Ada apa ini? Kok kelihatannya ada sesuatu yang sangat penting," tanya Pak Lurah dengan ramah. Keganjilan yang ia baca tidak bisa mencegah senyumnya yang selalu hangat. Sementara itu, Kang Maman dan Kang Suryo semakin tidak bisa mendiamkan kecemasan dan kepanikannya.
"Hm. Mohon maaf Pak Lurah. Ada berita duka siang ini." Pelan, Kang Maman berusaha untuk bicara.
"Siapa yang Sedo?" sambar Pak Lurah cepat. Kang Maman menelan ludah. Kang Suryo memilih mengunci mulut.
"Tidak ada. Bukan berita duka kematian, Pak. Tapi ini perihal makam Mbah Ompyang. Makam Mbah Ompyang rusak. Habis dibongkar. Berantakan." Pahit, Kang Maman menyampaikan peristiwa yang menakutkan itu.