“Mereka tidak kenal Ustad Muhajir,” sahut Satria sambil mempersilakan Arif menaiki tangga kayu.
Di lantai atas Arif mendapati suasana berbeda. Sepi dan agak remang-remang. Ada ruang tamu sempit yang lantainya dilapisi karpet kusam. Di situ ada sebuah sofa tua yang sebagian kulitnya sudah sobek-sobek dan catnya terkelupas. Ada sebuah meja kayu yang kotor, yang di atasanya bertaburan kulit kacang dan bungkus permen. Ada dua kamar tak berpintu yang gelap.
“Silakan duduk,” kata Satria.
“Mau minum apa? Kopi? Susu? Teh?” tanya Satria pula sambil melemparkan sebungkus rokok di atas meja.
“Apa saja lah,” kata Arif.
Satria kemudian memanggil salah seorang pemuda di bawah, lalu memberikan uang untuk membeli minuman. Setelah itu ia pun menjatuhkan dirinya di atas sofa. “Santai saja dulu. Ceritanya kita lanjutkan sambil minum,” katanya kepada Arif.
Arif yang masih merasa lelah hanya duduk dan manggut-manggut. Sebenarnya ia ingin segera tahu kelanjutan cerita Ustad Muhajir.
“Ini adalah rumah Muhajir. Saya dan anak-anak di bawah itu boleh dikatakan merupakan anak buahnya,” kata Satria setelah minuman berupa kopi terhidang di meja.
“Anak-anak di bawah itu, semula anak-anak jalanan. Anak-anak nakal yang boleh dikatakan sudah dibuang oleh orangtua mereka,” Satria menyambung ceritanya. “Muhajir ‘memungut’ mereka satu demi satu. Mengajari mereka bekerja, berdagang, bela diri, dan mengaji. Mereka jadi anak-anak baik, trampil, dan mengerti agama. Tapi sayang, karena guru mereka Muhajir yang dianggap sesat, perbaikan mereka dianggap tak berarti. Mereka pun terbawa-bawa diangap sesat.”
“Saya jadi semakin ingin tahu tentang Ustad Muhajir,” kata Arif. “Tapi saya ingin Abang sambung dulu cerita yang di masjid tadi,” potong Arif.
“O, ya, ya! Baik, akan saya lanjutkan.”