“Oh!” desah Arif sambil mengangguk-angguk.
“Lalu, Abang ini siapanya?” tanya Arif kemudian.
“Temannya. Sebenarnya murid, tapi dia tak pernah mau disebut guru atau ustad. Sebutan ustad hanya digunakan orang-orang yang belum akrab dengannya. Dia sendiri meminta agar dirinya disebut Muhajir saja.”
“Kenapa dia minta disebut Muhajir?”
“Itu ada sejarahnya.”
“Lalu nama aslinya siapa?”
“Cukuplah kamu kenal dia sebagai Muhajir.”
Arif memperlihatkan sikap heran, tapi ia tak berani memprotes orang yang baru beberapa saat dikenalnya itu, yang tampaknya berusaha menyimpan sebuah rahasia.
“Menurut Abang, apa benar Ustad Muhajir itu sesat?”
“Yang saya tahu, orang-orang tidak mengerti cara pemahamannya. Biasa lah, pada umumnya orang kan menerima agama hanya sebagai sebuah paket kepercayaan, yang bahkan hanya diterima sebagai sebuah warisan dari nenek-moyang. Karena itu, ketika ada yang mencoba melakukan pengkajian kritis, muncul lah tuduhan sesat dan sebagainya.”
“Jawaban Abang mirip dengan jawaban teman saya,” kata Arif.