Setelah orang-orang selesai shalat berjamaah, barulah Satria masuk ke dalam masjid, diikuti Arif. Satria menjadi imam, Arif bermakmum di sebelah kanannya, agak ke belakang sedikit.
“Bacaan Abang panjang sekali,” kata Arif setelah mereka selesai shalat.
“Sebenarnya, menurut ajaran Nabi, kalau jadi imam tidak boleh membaca surat yang panjang. Tapi sejak belajar pada Muhajir saya jadi terbiasa membaca surat-surat panjang, dan itu membuat saya merasa nikmat dalam melakukan shalat.”
“Apakah … mereka, orang-orang yang datang ke masjid ini, mengenal Abang?” tanya Arif.
Satria tertawa. “Tentu saja. Saya kan orang sini. Banyak di antara mereka dulu teman akrab saya. Bahkan yang jadi imam tadi itu adalah kakak ayah saya. Tapi sekarang semua cuek. Kalau tidak memandang ayah saya, mungkin mereka sudah melempari saya dengan batu supaya saya tidak menginjak masjid ini.”
Arif mengangguk-angguk.
“Lalu sikap ayah Abang sendiri bagaimana?” tanya Arif kemudian.
“Seperti Abu Thalib, paman Nabi Muhammad. Dia hanya melindungi saya karena saya anaknya, bukan karena sepaham dengan saya.”
Arif mengangguk-angguk lagi.
Satria kemudian mengajaknya meninggalkan masjid, berjalan memasuki gang demi gang, beberapa di antaranya sudah dilewati Arif tadi siang. Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah kecil yang terselip di antara rumah-rumah lain di tengah kampung yang padat. Di dalam rumah itu ada beberapa pemuda yang sedang sibuk bekerja. Buah kelapa bertimbun di sebuah sudut, sabut dan tempurungnya berserakan di lantai, suara mesin parut kelapa menderu-deru, berselang-seling dengan suara kapak kecil yang beradu dengan batok kelapa yang dikupas. Arif melempar senyum dan mengucapkan salam kepada para pemuda itu yang serempak menoleh ke arah-nya. Para pemuda itu sudah dijumpainya tadi siang.
“Tadi saya sudah mampir di sini, menanyakan Ustad Muhajir,” kata Arif kepada Satria.