“Tapi dia tegar. Di dalam penjara dia malah semakin giat memperdalam agama. Selanjutnya, setelah tahun demi tahun berlalu, di dalam penjara dia malah dijuluki kiai. Para napi dan sipir menghormatinya.”
“Suatu hari dia bercerita kenapa dia menggunakan nama Muhajir. Katanya, Muhajir itu artinya orang yang berhijrah, orang yang meninggalkan satu tempat untuk pindah ke tempat lain, atau meninggalkan satu kea-daan untuk beralih pada keadaan yang lain. Dengan mendalami agama, katanya, dia adalah orang yang meninggalkan gelap untuk beralih ke terang. Tapi, ketika ia merasa menemukan terang, orang lain malah menganggapnya sesat. Karena itu, ketika di dalam pen-jara, ia menamai dirinya Muhajir Mahjur, orang yang meninggalkan dan ditinggalkan. Dalam hidup ini, katanya, kita harus selalu siap menghadapi dua hal itu: meninggalkan dan ditinggalkan. Tapi kesiapan itu harus dilandasi dengan motivasi yang kuat, yaitu karena Allah, bukan karena yang lain.”
Arif menghela napas. Menatap Satria beberapa saat, meneguk minuman, terdiam, kemudian katanya, “Bisakah Abang mengantar saya menjenguk Ustad Muhajir?”
“Menjenguknya? Di mana? Dia sudah keluar dari penjara, dan pergi entah kemana,” sahut Satria sambil meniupkan asap rokok ke udara. Ada nada pedih dari suaranya.
Dada Arif terasa seperti kena tinju. Sesak. Ia tak tahu harus bicara apa lagi sekarang. Suasana menjadi senyap. Tapi tak lama kemudian suara adzan Isya terdengar. Lalu seorang anak muncul membawa nasi bungkus dan air putih dalam kantong plastik.
“Kita makan dulu, baru shalat. Setelah itu, kamu menginap saja ya? Sudah cukup malam untuk pulang,” kata Satria.
“Tidak,” sahut Arif.
“Kenapa?” tanya Satria. “Tidak biasa tidur di tempat buruk begini?”
“Bukan begitu. Tapi, Ustad Muhajir sudah tak ada. Saya juga harus siap ditinggalkan dan meninggalkan,” sahut Arif.
Keduanya lantas saling berpandangan. Lalu sama-sama tertawa tanpa suara.
***