“Dari mana kamu kenal Ustad Muhajir?”
“Dari teman saya, tepatnya tetangga sekaligus senior saya di kampus. Kami sering ngobrol soal agama, dan senior saya ini sering mengajukan pandangan-pandangan yang saya rasa baru dan agak aneh, tapi justru itu saya menjadi tertarik. Sayangnya sekarang dia sudah pulang ke Surabaya. Menjelang dia pulang itulah, beberapa tahun yang lalu, dia meninggalkan alamat Ustad Muhajir yang disebutnya sebagai gurunya. Tapi alamatnya cuma begini…”
Arif memperlihatkan kertas lusuh yang ada di saku bajunya. Sebuah peta jalan yang sangat sederhana. Di situ bahkan tidak ada nomor rumah, erte, erwe, dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan. Satria tertawa.
“Kenapa Abang ketawa?” tanya Arif.
“Alamat ini benar!”
“Jadi, Ustad Muhajir memang tinggal di kampung ini?” Arif bertanya sambil membersitkan senyum gembira.
“Ya. Tapi mungkin cuma saya yang kenal dia. Orang-orang sini mengenalnya dengan nama lain; dan kalau nama itu ditanya, mereka akan menjawab dengan ketus bahwa dia sudah pindah …”
“Oh! Jadi dia sudah pindah dari sini?” kegembiraan Arif memudar lagi.
“Bukan pindah tempat tinggal, tapi pindah agama.”
“Pindah agama? Jadi Kristen? Hindu? Buddha?”
“Bukan. Mereka bilang dia sudah memeluk agama baru, Islam Baru, bikinan dia sendiri. Kadang mereka bilang dia sudah masuk aliran sesat.”