Tak terasa sudah hampir setengah hari ia mencari. Dalam keadaan hampir putus asa, ia menghampiri sebuah kerumunan, lalu meng-ulang pertanyaan yang sama. Jawaban yang sama pun diterimanya. Tak ada yang tahu Ustad Muhajir.
Dengan langkah gontai Arif meninggalkan kerumunan itu. Tapi belum lima menit, ia merasa ada yang mengikutinya. Ketika menoleh ke belakang, seorang pemuda tersenyum kepadanya. Usianya mungkin beberapa tahun lebih tua dari Arif.
“Saya dengar Mas cari Ustad Muhajir?” katanya.
“Oh, iya, benar. Anda kenal?”
“Enaknya kita ngobrol di masjid,” pemuda itu menunjuk sebuah masjid di tengah kampung yang cukup besar, resik, dan sejuk. “Sambil menunggu maghrib!” katanya pula.
Sudah mau maghrib? Arif agak terhenyak. Kemudian mereka memasuki masjid itu. Duduk di lantainya yang bersih. Arif berusaha mengurangi keletihan dengan duduk bersandar sambil memanjangkan kakinya.
“Mau minum?” pemuda itu membuka percakapan.
“Oh, nggak, nggak. Terimakasih!”
“Tunggu sebentar,” kata pemuda itu sambil berjalan menuju sebuah warung kecil. Di situ ia membeli dua botol air mineral. Arif menerima sebotol air yang disodorkan kepadanya dengan agak gugup, lalu mengucapkan terimakasih berkali-kali.
Kemudian mereka pun saling berkenalan. “Nama saya Satria. Kamu boleh panggil saya Satria, Abang, Mas, atau apa saja; asal jangan panggil saya Bang Sat,” kata pemuda itu.
“Saya panggil Abang saja,” kata Arif sambil tertawa kecil.