Mohon tunggu...
ahmad haes
ahmad haes Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung, besar di Jakarta. Hobi menulis, menggambar, mengajar, dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muhajir Mahjur (Pengikut Aliran 'Sesat')

13 Desember 2011   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satria hanya tersenyum.

“Saya sendiri sedang bingung,” sambung Arif setelah beberapa saat terdiam. “Sebenarnya ukuran kebenaran agama itu apa? Ada banyak agama. Ada banyak aliran dalam satu agama. Dalam Islam saja begitu banyak mazhab, dan semua mengaku sebagai pihak yang benar. Ketika ngobrol dengan teman yang saya sebutkan itu, saya merasa senang karena dia mengajak saya berpikir. Di satu sisi, kata orang agama bukan lah sesuatu yang harus dipikirkan. Tapi bagi saya, rasanya sulit untuk menerima agama sambil membiarkan pikiran saya menganggur.”

“Hal itu juga yang terjadi pada saya, sehingga saya belajar pada Muhajir. Sampai kemudian terjadi peristiwa tragis,” kata Satria.

“Maksud Abang?”

“Sejak dia dianggap sesat, dia dimusuhi banyak orang. Di antaranya, yang paling keras memusuhinya adalah mertuanya sendiri. Dia dipaksa menceraikan istrinya. Anaknya pun dibawa oleh mereka, dan dia tak pernah diijinkan untuk bertemu dengan anaknya itu.”

“Oh! Sampai begitu?” Arif hampir terlonjak dari duduknya.

“Kehilangan istri dan anak membuatnya sangat berduka,” Satria menyambung ceritanya. “Sekian lama ia tidak bisa bekerja. Yang dilakukannya hanya bepergian tanpa tujuan. Kadang berhari-hari dia tidak pulang. Badannya semakin kurus dan kotor. Perusahaannya tak pernah lagi diurus, sehingga akhirnya bangkrut.”

Tanpa mereka sadari keadaan masjid sudah semakin ramai. Orang-orang yang berdatangan tampak saling bertegur-sapa, bersalaman, menepuk bahu dan lain-lain, tapi tak seorang pun yang menyapa atau mendekati mereka. Mereka seperti dianggap tidak ada. Beberapa menit kemudian suara muadzin yang dibantu pengeras suara memecah udara.

Satria bangkit sambil menggulung lengan bajunya, lalu melangkah ke tempat mengambil air wudhu. Arif mengikutinya. Suara muadzin memenuhi seluruh ruangan. Agak menyakitkan kuping. Selain itu, gaya sang muadzin memainkan suara terasa seperti ingin memamerkan kemerduan suara dan kepiawaiannya mengatur napas.

“Orang tua itu yang nanti akan jadi imam,” bisik Satria kepada Arif setelah berwudhu. Isyarat tangannya mengarah pada seorang lelaki tua bergamis dan bertutup kepala putih yang baru memasuki masjid. “Mudah-mudahan dia tidak melihat saya.”

Arif kurang mengerti perkataan Satria, tapi keadaan tak memungkinkan untuk ber-tanya. Shalat sudah akan dimulai. Tapi ketika orang-orang bergegas membentuk shaff (barisan) setelah terdengar suara iqamah, Satria malah duduk di beranda tempatnya mengobrol bersama Arif tadi. “Saya juga sudah dianggap sesat, karena saya belajar pada Muhajir,” katanya ketika Arif mendekat dan ikut duduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun