Kedua, dengan merujuk pada "Jangan paksa arahnya cinta karena keadaan dan perbedaan" di mana subjek mulai merefleksikan pengalaman perbedaan bersama sang kekasih. Entah itu perbedaan keyakinan, kelas sosial, atau perbedaan pilihan.Â
Namun yang pasti perbedaan dalam konteks lirik di atas menunjukan kegelisahan subjek terhadap dis-integrasi kisah asmara yang telah dibangun bersama kekasihnya. Ketiga, karena perbedaan tersebut memungkinkan perpisahan, subjek tidak ingin mengucapkan janji kepada kekasihnya, dan menyarankan "Nikmatilah saja cintamu hari ini" mencoba menatap masa depan dengan mengajukan pertanyaan 'sanggupkah' subjek menjalani hidup tanpa sang kekasih di sisinya.
Alih-alih menjawab pertanyaannya sendiri, sang subjek dalam lagu tersebut memilih biar waktu saja yang mampu menjawab perasaannya di masa depan. Bagi saya, lirik lagu di atas bukan hanya sebuah kejujuran ungkapan atas fakta yang dialami subjek, tetapi juga menjadi oase ditengah kekeringan makna cinta dalam lagu pop. Bahkan lebih jauh ia berpijak pada "keterlemparan" manusia (Dasein) ke dunia yang digagas oleh Martin Heidegger.Â
Kita dilahirkan untuk tidak dapat memilih tempat, ras, agama, budaya dan struktur sosial, sehingga variabel ini yang melekat pada kelahiran kita adalah tempat kita terlempar yang disebut sebagai dunia kita. Namun dari ketidak-mungkinan untuk memilih tersebut, manusia memiliki kehendak bebas, membuka pilihan-pilihan selanjutnya dalam menjalani hidup setelah menyadari dan menemukan diri di tengah keterlemparan yang tidak bisa kita pilih sebelumnya.
Bagi Heidegger keterlemparan Dasein ke dunianya bukanlah titik akhir menuju kebebasan, tetapi justru adalah awal dari keterlemparan selanjutnya. Konsep kebebasan Heidegger berada pada garis waktu "selalu sudah" yang dengan demikian, sesudah keterlemparan, tersedia pilihan terbatas untuk kita dapat memilih hingga kita menemukan keotentikan yang sesungguhnya, yakni kematian. [2] Dengan begitu manusia senantiasa tidak dapat melarikan diri dari keterlemparan di mana pada tahap selanjutnya kita dihadapkan pada keterbatasan pilihan. Demikian kebebasan memilih itu sendiri adalah hasil dari penerimaan keterlemparan kita ke dunia. Ketidak-mungkinan memilih membuat kita berbeda satu sama lain, posisi subjek dalam lirik lagu di atas memilih untuk menerima perbedaan tersebut dan enggan merubah perbedaan menjadi persamaan, untuk itu ia tak ingin memaksa kisah cintanya agar tetap bertahan.
Kembali pada urusan lirik lagu pop yang dikatakan Remy bahwa pop tidak pernah siap berfikir untuk tidak melulu bertanya. Barangkali wabil-khusus untuk lagu Sanggupkah, Andhy Liany adalah pengecualian dari kemalasan berpikir sang seniman pop. Sebuah pertanyaan tidak melulu menandakan bahwa seseorang tidak siap untuk berpikir, sebab dalam lirik lagu Sanggupkah bukan hanya persoalan Dasein yang terlempar ke dunia, tetapi ia juga terjebak pada temporalitas sebagai kesatuan masa kini, masa lalu, dan masa depan di mana manusia sebagai yang-ada bergerak, melaju, dan melakukan perjalanan. [3] Pertanyaan subjek dalam lagu Sanggupkah tidak dapat di jawab pada konteks 'masa kini' sebab keadaan yang dialami subjek tidak memungkinkan untuk menyingkap jawaban dan kepastian saat itu. Untuk itu biarlah waktu yang bisa jawab semua itu, sampai kapan? Aku tak tahu!
Mengurai Marginalisasi dalam Moda Produksi Label
Sepengetahuan saya tentang pop diambil dari kata populer, dicirikan dengan lantunan musik yang easy listening, lirik-lirik yang juga mudah dipahami, relatable, dan tak lupa terikat kontrak dengan korporasi sebagai label musik sekaligus marketing dalam memasuki industri musik agar dapat memperluas jangkauan pendengar. Karena label tidak memiliki konsumen secara langsung, biasanya label bekerja sama dengan media-media mainstream untuk memasarkan komoditasnya (lagu dan penyanyi/band) agar semua orang tahu dan bisa mendengar cuplikan musik yang sedang dirilis. Dulu semasa saya duduk di bangku sekolah dasar, ketika menonton tv menjadi kebiasaan saya setiap hari. Disela-sela nonton film/movie terdapat iklan yang menayangkan cuplikan lagu Ada Apa Denganmu, Peterpan. Itu berulang kali ditayangkan ketika iklan sedang berlangsung.
Seorang anak yang tidak mengerti informasi tentang makna lirik dan alunan musik yang dengan sopan tiba di telinganya, ingin sekali mendengarkan lagu yang di bawakan Boriel secara penuh. Namun apalah daya keterbatasan keadaan pada waktu itu, di mana penggunaan internet tidak semasif sekarang, memaksa saya untuk mantengin program musik seperti MTV Ampuh, Dahsyat, Inbox dst.Â
Tetapi apabila ingin menyetel lagu tersebut berdasarkan just in time, saya harus membeli disk originalnya di toko-toko kaset terdekat. Namun jika saya punya uang, saya jamin, saya akan membeli kaset originalnya. Tetapi demikian, yang saya permasalahkan sekarang bukan tentang saya mampu atau tidaknya membeli kaset, tetapi ketika saya membeli sebuah kaset, hal ini merupakan bagian dari sirkulasi kapital label musik seba  gai produsen, penerbit dan agen marketing.
Tidak mengherankan dalam setiap keterbatasan selalu jatuh pada kebutuhan kebutuhan bukan hanya bagi kita untuk mendengarkan musik, tetapi kebutuhan bagi major label untuk menghasilkan nilai lebih dan keuntungannya kembali lewat rilisan lagu-lagu terbaru. Melalui ajang pencarian bakat, industri musik kala itu (bahkan hingga hari ini) sering kali mencari band dan penyanyi solo untuk masuk dalam kriteria selera pasar yang telah dibentuk oleh corak produksi kapitalisme.Â