Ataukah mungkin hatimu membeku
Hingga kau tak pernah pedulikan aku"
Lirik diatas berjudul Pujaan Hati ciptaan Dody, gitaris Kangen Band. Memang bukan hal yang salah ketika subjek bertanya mengapa sang kekasih tidak bersikap seperti yang ia inginkan, akan tetapi masalahnya adalah ketika Kangen Band tidak hendak menelusuri jawaban atas perasaan patah hatinya.Â
Bicara tentang balasan cinta, Erich Fromm sejak jauh-jauh hari memberikan petuah "seseorang yang 'mencintai' memberikan kegembiraan, perhatiannya, pengertiannya, dan seluruh ungkapan dan perwujudan dari yang hidup dalam dirinya. Dia memberi bukan karena ingin menerima; jika kau mencintai tanpa membangkitkan cinta, jika dengan ekspresi kehidupan sebagai orang yang mencintai kau tak membuat dirimu sendiri sebagai orang yang dicintai, maka cintamu impoten, sungguh malang!" [2]
Fromm bermaksud menjelaskan bahwa kita sebagai seorang pecinta, seharusnya kita mengabdikan hidup pada apa yang kita cintai. Hal ini bukan berarti mengorbankan diri demi orang lain, artinya jelas, subjek meningkatkan rasa hidup orang lain dengan meningkatkan rasa hidupnya sendiri. Posisi ini lah yang luput dari lagu-lagu populer, yakni rasa cinta yang senantiasa dilandasi pada asas "kemenjadian" menjadi apapun yang ia senangi dan menerimanya.Â
Dengan demikian, makna cinta yang berselera pasar merupakakan cinta yang berlandaskan pada asas kepemilikan; menganggap orang lain adalah milik kita, sehingga wajib hukumnya bagi seseorang yang kita cintai untuk menuruti apa yang kita inginkan. Tak heran, kebanyakan lirik galau dalam lagu-lagu populer tidak terima terhadap perubahan sikap sang kekasih dengan dalih "aku mencintainya".
Tema cinta dalam industri musik kontemporer adalah template yang terus direproduksi, mereka mencari keuntungan dari sifat yang dialami semua umat manusia.Â
Bagaimana pun memang tak salah membuat lagu bertemakan tentang cinta, akan tetapi bukankah tema yang sama jika diucapkan terus menerus semakin tidak jelas maknanya?! Bahkan saking sudah terbiasa mendengarkan kata cinta, kita tidak lagi mengerti dan seringkali dengan remeh-temeh bilang "biasa, urusan cinta". Lagu-lagu yang bertemakan tentang cinta selalu laris dipasaran apalagi dibalut dengan branding media populer yang menghasilkan musik dengan easy listening, selain enak didengar penikmat musik juga relate dan merasa terwakili perasaannya.Â
Tak heran selama beberapa dekade ke belakang industri musik gencar memproduksi lagu-lagu semacam ini, dan mencari talenta-talenta berbakat dengan menerapkan standarisasi musik pop di mana kita tidak lagi untuk repot-repot merefleksikan secara empiris hidup kita, tujuannya? Lagi-lagi perluasan pasar untuk menghasilkan cuan.
Namun demikian, agar tidak jatuh pada over-generalisir kritik Remy perlu diperluas dengan mengajukan pertanyaan: Apakah lirik lagu bertemakan cinta dengan konotasi pertanyaan dan diiringi alunan musik yang mendayu-dayu itu selamanya bermakna dangkal? Tentu saya, sebagai penikmat musik akan menolak dengan tegas jika Remy menggeneralisir semua musik yang memiliki lirik berkonotasi pertanyaan dan tidak memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang menimpa subjek hanya lah ratapan patah hati dan penyesalan.Â
Suatu pertanyaan memanglah dangkal ketika tidak berpijak pada klaim-klaim ontologis, namun bagaimana jika pertanyaan-pertanyaan itu mulai mempersoalkan tentang hakikat dan abstraksi dari problematika cinta? Tampaknya kita perlu mencari angsa hitam dari proposisi dalam kritik Remy dengan menunujukan fakta bahwa tidak semua lagu dengan kalimat tanya tidak memantik kita untuk berpikir.