Mohon tunggu...
Dieter Alvarez
Dieter Alvarez Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Selalu ada kekecewaan menanti, bagi kamu yang berusaha sepenuh hati.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Bagaimana Musik Pop Mudah Didengar, tetapi Sulit Direfleksikan

20 Maret 2023   21:44 Diperbarui: 21 Maret 2023   01:09 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Sorry?" balas Tom.

"I said I love The Smiths. You, you have good taste in music", tandas Summer dalam percakapannya dengan Tom.

Dalam percakapan tersebut Summer mengatakan bahwa Tom punya selera yang baik dalam menikmati musik. Summer, secara tidak langsung mengatakan "selera yang baik" menunjukan terdapat "selera yang buruk" dalam menikmati sebuah karya seni. 

Tetapi mari kita ber-huznudzon terhadap perkataan Summer, anggap saja tujuan utama Summer mengatakan demikian dilatarbelakangi oleh kesamaan akan selera musik alternatif rock. 

Namun bagaimana jika tujuan Summer mengkalsifikasikan genre musik ke dalam struktur hierarki? Ini merupakan persoalan epistemologis tentang bagaimana suatu kategori musik dianggap baik atau buruk termasuk dari proses penciptaan karya sang seniman.

Ketika menikmati musik, salah seorang teman pernah membuka pertanyaan mengenai nada dahulu atau lirik terlebih dahulu? Tentu bagi saya yang awam tentang proses penciptaan nada akan kebingungan menjawab pertanyaan itu dan lebih memilih untuk mengedepankan lirik, sebab bahasa merupakan variabel utama untuk dapat mengetahui dengan jelas makna, posisi, dan maksud dari sang seniman menyampaikan pesannya dengan diiringi nada yang ia dibentuk. 

Tetapi, toh, kicauan burung di pagi hari juga mengasyikan untuk di dengar meskipun kita tidak mengetahui maksud dari kicauan sang burung. Jika demikian, harmonisasi nada tanpa adanya vocal atau lirik yang mengisi dalam rentetan nada-nada itu juga dapat dimaknai dengan mengkaitkannya pada pengalaman empiris sang penikmat musik.

Mungkin oleh sebab ini seseorang mengklasifikasikan jenis-jenis musik ke dalam struktur hierarkis melalui medium yang dinamakan lirik. Jika demikian, kita perlu bersepakat dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Remy Sylado tentang musik pop. Melalui artikel yang berjudul "Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa"[1] yang ditulis pada tahun 70-an, Remy dengan lugas menandaskan bahwa persoalan terdegradasinya musik pop terletak pada lirik yang tidak memantik kita untuk berpikir dan merefleksikan aspek etis dan estetis, seolah subjek dalam musik tersebut tidak memiliki kapabilitas untuk memaknai realitas hidup dan kehidupannya; melalui "sang mengapa?" mereka hanya mampu bertanya dan enggan untuk berfikir tentang bagaimana menyikapi kehidupan yang banal ini, tujuannya? Agar mudah didengar dan sesuai dengan kepentingan cukong sebagai marketing musik yang ia ciptakan, agar bisa laris dipasaran.

"Sang Mengapa?" tanpa absen selalu hadir dalam karya musik populer terutama di Indonesia. Diksi itu acapkali digunakan seniman pop dalam merangkai untaian kata atas ketidak-terimaan subjek saat terjadi masalah dengan sang kekasih. Lirik lagu Nike Ardila yang berjudul "Sandiwara Cinta" belakangan ini naik kembali ke permukaan setelah dibawakan oleh salah satu musisi tanah air dan dinyanyikan kembali oleh kawula muda edgy pada suatu acara musik, berikut penggalan liriknya:

"Mengapa kau nyalakan api cinta di hatiku

Membakar jiwa yang merana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun