“Sudah cukup tertawa Saudara?”
Aku mengangguk jengah.
“Hanya ada satu pertanyaan untuk Saudara,” lanjutnya. “Jika Saudara memperoleh buah simalakama, apa yang akan saudara lakukan. Memakannya? Atau tidak memakannya?”
Kembali aku terbengong. Tapi kulihat raut di depanku –lagi-lagi- tak menunjukkan gejala canda sedikitpun, membuatku bingung bercampur jengkel karena merasa dipermainkan. Sebenarnya ada apa dengan semua ini?
“Saya tidak akan melakukan keduanya,” jawabku dengan suara yang agak tegang. Barangkali terbawa perasaan kurang suka yang baru saja menyelinap.
“Lantas?”
“Karena saya lebih memilih untuk menjualnya, lalu menyumbangkan hasilnya kepada fakir-miskin berderet di luar sana,” tegasku dengan gaya sengak menantang, karena siapapun jelas mengerti, bahwa jawaban yang kuberikan hanyalah banyolan liar diluar konteks serta nalar umum.
Dan... benar saja. Pria setengah baya tersebut langsung menggebrak meja keras-keras.
“Bagus!!!”
Lagi-lagi aku terbengong. Bagus, katanya… Apanya yang bagus?
Belum lagi kebingunganku redam, ketika pria setengah baya itu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Tibalah kami pada sebuah meja pertemuan yang nyaris penuh.