Kudengarkan ucapan Bapak Ketua ini dengan pandangan kosong. Mataku buram. Satu-persatu bayangan melintas di sudut pikiran.
Presiden?
Apa itu Presiden?
Saat Si Erray jatuh dari atap saat tengah membobol sebuah gudang, kemana Presiden? Karena yang ada hanya teman-teman sesama bencoleng, yang kemudian hanya menutupkan koran pada tubuhnya yang masih kejet-kejet tanpa berminat untuk memberi pertolongan pertama, hanya demi terus bisa melanjutkan menjarah! Sebab katanya, di dunia mereka tak ada Presiden. Karena yang ada hanyalah uang, yang harus terus ada agar perut-perut kecil bocah kesayangan mereka yang kumal tercabik kemiskinan, tetap bisa makan: Dengan atau tanpa kehalalan.
Kemana Presiden? Saat Plenyun Si Penjual Sapu lidi, tak kuasa melunasi tunggakannya terhadap rentenir, yang barangkali bahkan lebih rendah nominalnya dari jumlah yang ditolak oleh Yang Terhormat serta Paling Mulia Dia yang melecehkan makan siang di warteg, membuatnya lintang-pukang hingga malam terjelang, hanya demi menyetor bunga yang tak pernah berkurang, menyisakan amat sedikit bagi isi panci anak-istri.
Kemana Presiden? Saat dengan amat bahagianya murid ngajiku bercerita, tentang tempat pensil teranyarnya yang kusam dekil, yang baru saja dia temukan dan pungut dari tempat sampah dengan amat sumringah.
Kemana Presiden? Sebuah pertanyaan yang kemudian bermetamorfosa dalam benakku, menjadi, “Siapa Presiden?”, atau “Apa itu Presiden?” hingga perubahan yang paling mutakhir menjadi, “Apakah benar-benar ada Presiden di negeri ini?”
Tanpa sadar aku berdiri dan menggebrak meja sekuat tenaga. Mataku yang memerah, bersitatap langsung dengan mata Bapak Ketua tersebut, yang tak kalah tajam menusuk.
Cukup lama juga kami berdiri saling menatap, hingga akhirnya aku yang mengalah. Tubuhku kembali luruh di atas kursi. Lelah dengan pertikaian bathinku sendiri yang terus menggerogoti selama banyak tahun sebelum ini.
“Baik, saya akan berangkat besok ke Tanah Papua. Tapi setelah urusan Suku Korowai ini selesai, tolong Bapak Ketua kembali menegaskan syarat yang saya ajukan saat menerima jabatan ini kepada Bapak Presiden, agar kelak Beliau sama memperhatikan suku-suku terasing lainnya, yang nyata-nyata berada tak jauh dari pusat pemerintahan. Dan saya bersedia untuk menjadi penghubung mereka.”
***