Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

#2: Dongeng untuk Jokowi

21 Desember 2015   05:11 Diperbarui: 23 Januari 2016   08:34 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah Jokowi membaca tulisan rakyatnya? Sebab di dunia yang pernah aku kenal dan singgahi, yang namanya Presiden, seringkali jauh lebih tahayul keberadaannya… bahkan jika dibandingkan dengan dongeng tentang Hantu Blao sekalipun…”

***

Cerita sebelumnya:

Hari ini Indonesia mendapat penghargaan dari dunia internasional sebagai negara tercepat yang mampu keluar dari krisis ekonominya. Hari ini bayi-bayi yang lahir, tidak lagi menyandang hutang. Hari ini semuanya telah kembali membaik. Walau sampai hari ini pendidikan masih saja mahal.

Tapi apakah artinya mahal ketika rakyat telah mampu untuk berkata “Ah, tidak apa-apa…”, seperti bunyi salah satu iklan rokok kretek, dengan tetap tersenyum. Dan senyum mereka tak pernah lagi hendak usai ketika setiap minggu yang mereka lalui, dipenuhi dengan rupiah serta dolar yang mereka peroleh dari bagi hasil.

Ya. Siapa bilang hidup tak indah?

Sementara aku?

Aku tetap seorang manusia biasa. Bahkan kuliahkupun tak pernah selesai. Tapi aku tak pernah jadi petani atau pelaut. Bukan karena dua pekerjaan itu begitu remeh. Hanya saja, aku… lebih tertarik untuk menyempurnakan ‘Mesin Peradaban’ yang tengah kubuat. Sebuah mesin yang -kuharap- mampu untuk membuat manusia… menjadi lebih manusia! Dan bukannya menjelma serigala atau mesin.

Yap, kebetulan aku dipercaya untuk mengelola sebuah ‘Rumah Ilmu’ yang sederhana, yang hanya memiliki beberapa puluh laboratorium, dengan fasilitas komputer yang hanya beberapa juta unit. Dan saat ini, usiaku belum lagi genap dua puluh satu.  

“Heh! Gembel! Pergi kau dari tokoku…!!!” tahu-tahu di hadapanku telah berdiri seorang pria tambun. Wajahnya galak, melotot kearahku. Sementara di perempatan jalan di depanku, kulihat bocah-bocah kumal berlarian menjajakan koran. Beritanya terorisme. Yang lainnya mengelap-ngelap kaca mobil, atau bertepuk tangan sambil mendendangkan ‘Tanah Air Mata’.

Rupanya aku melamun.

(#1 : Tanah Air Mata, kenangan saat masih sering di-HL Admin karena -mungkin- masih jarang menyentil…^_)

***

“Kau? Staf Khusus Penasehat Kepresidenan?”

Aku tersenyum kecut mendengar nada tak percaya itu. Sudah biasa. Lagi pula, siapa juga yang akan percaya? Dengan tongkronganku yang bohemian ini, paling banter orang-orang hanya akan menyangka bahwa aku tak lebih dari sejenis ‘Seniman Tanpa Tanda dan Tanpa Jasa’. Atau paling terhormat mungkin difitnah sebagai pemilik usaha kecil-kecilan, yang itupun terasa amat dipaksakan hanya karena kulitku yang agak bening.

Masih jelas terekam di benakku, saat beberapa pria cepak berbadan tegap masuk ke ruangan kantor, dan langsung duduk di depanku memperlihatkan beberapa berkas.

“Tidak memiliki badan hukum, tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan prasyarat yang dibutuhkan, tidak menggunakan kurikulum UU Sisdiknas yang berlaku…”

“Januari 2015 mendirikan Lembaga Pengelolaan Dana Masyarakat tanpa izin. Maret 2015 percobaan pembuatan rumah susun illegal di wilayah X. Agustus 2015 melakukan… ”

“Saudara tinggal memilih, apakah ingin kami gelandang dengan sembilan puluh sembilan pasal berlapis yang telah kami persiapkan, atau ikut kami secara baik-baik.”

“Apakah Bapak-bapak memiliki surat perintah pengadilan untuk menangkap saya?” getirku, yang dengan amat sigap lembar sakti tersebut langsung terhampar di atas meja.

Menit berikutnya, aku telah duduk satu mobil dengan mereka.

“Kemana tujuan kita?”

“Sebentar lagi Saudara akan tahu.”

***

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, mobil berhenti. Kembali sosok cepak berbadan tegap menggiringku dari kiri dan kanan.

“Tinggalkan dia di sini,” perintah pria setengah baya di hadapanku dengan nada yang amat datar, yang langsung diamini oleh mereka, membuatku berpikir keras tentang siapa adanya orang sakti yang ada di depanku ini?

Dan seperti paham apa yang tengah kupikirkan, pria setengah baya tersebut tersenyum samar lalu menyilakanku untuk duduk. Pada mejanya –sekali lagi- kulihat berkas yang persis dengan yang dibeberkan oleh penjemputku, membuatku spontan meringis dengan amat miris.

Alangkah sempitnya dunia! Bahkan data diriku begitu mudah beredar di tangan mereka, lengkap hingga ke catatan terkecilnya.

“Saudara tahu mengapa kami bawa kemari?”

Aku menggeleng.

“Karena Saudara akan kami tempatkan pada posisi Staf Penasehat Kepresidenan untuk Bidang Khusus.”

Agak terbengong aku mendengar keterangan sosok di depanku ini, sebelum detik berikutnya tawaku meledak. Riuh.

Tapi tawaku tak langgeng, yang dengan amat paksa kupenggal periodnya ketika mengetahui, bahwa pria setengah baya di hadapanku tak turut tertawa. Bahkan justru memasang tampang yang jauh lebih serius dari sebelumnya.

“Sudah cukup tertawa Saudara?”

Aku mengangguk jengah.

“Hanya ada satu pertanyaan untuk Saudara,” lanjutnya. “Jika Saudara memperoleh buah simalakama, apa yang akan saudara lakukan. Memakannya? Atau tidak memakannya?”

Kembali aku terbengong. Tapi kulihat raut di depanku –lagi-lagi- tak menunjukkan gejala canda sedikitpun, membuatku bingung bercampur jengkel karena merasa dipermainkan. Sebenarnya ada apa dengan semua ini?

“Saya tidak akan melakukan keduanya,” jawabku dengan suara yang agak tegang. Barangkali terbawa perasaan kurang suka yang baru saja menyelinap.

“Lantas?”

“Karena saya lebih memilih untuk menjualnya, lalu menyumbangkan hasilnya kepada fakir-miskin berderet di luar sana,” tegasku dengan gaya sengak menantang, karena siapapun jelas mengerti, bahwa jawaban yang kuberikan hanyalah banyolan liar diluar konteks serta nalar umum.

Dan... benar saja. Pria setengah baya tersebut langsung menggebrak meja keras-keras.

“Bagus!!!”

Lagi-lagi aku terbengong. Bagus, katanya… Apanya yang bagus?

Belum lagi kebingunganku redam, ketika pria setengah baya itu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Tibalah kami pada sebuah meja pertemuan yang nyaris penuh.

Sekilas lirik, sepertinya tak kurang dari enam belas belas orang yang hadir di sana, yang nyaris kesemuanya berusia tak berbeda dengan yang membawaku, menobatkanku secara otomatis sebagai orang ke-delapan belas yang hadir di ruangan ini.

“Silakan duduk,” ucap pria setengah baya tersebut, setelah sebelumnya ia berjalan menuju kursi utama.

Wajahku agak panas ketika belasan sosok berbatik rapi tersebut menatapku dengan pandang sinis. Terutama menatap kemeja flanel motif kotak-kotak yang kugulung sebatas siku, yang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan seragam kebesaran mereka yang licin mengkilap.

“Keberatan, Bapak Ketua! Saya keberatan duduk bersama anak muda gondrong yang tidak jelas asal-usulnya ini!” protes bapak berbatik merah yang terhormat tersebut, yang langsung disambut riuh oleh yang lainnya. Ada yang pro, juga ada yang kontra, membuat darahku menggelegak. Terhina.

Pria setengah baya yang ternyata ‘Bapak Ketua’ tersebut mengangkat tangan, membuat hadirin sirap seperti semula.

Dan wajahku kembali memanas ketika Bapak Ketua tersebut, yang entah darimana dapatnya, membacakan biodataku kepada forum yang entah apa ini, lengkap dengan track record yang pernah kulakukan… sebanyak tiga puluh halaman penuh!

Alangkah hebatnya sumber data yang dimiliki oleh Bapak Ketua ini, hingga tahu sedetil itu tentangku, yang bahkan aku sendiri telah banyak yang lupa!

“Ada yang masih merasa keberatan?” tanya Bapak Ketua sambil mengedarkan pandangan ke seluruh yang hadir. “Jika tidak, mari kita mulai pembahasan tema kegiatan Presiden untuk bulan depan,” lanjutnya.

***

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka (‘Melihat Api Bekerja’ – M. Aan Mansyur).

“Jumlah Staf Penasihat Kepresidenan ini memang kebetulan sama persis dengan banyaknya anggota MKD yang menyidang SN kemarin, yang terdiri dari divisi-divisi multibidang, mulai dari Divisi Kebudayaan, Divisi Politik serta Divisi Bahasa. Dan saya memanggil Saudara untuk menempati Divisi Khusus di luar dari yang telah ada, agar ‘pintu utama’ Pertimbangan Kebijakan Presiden, tak turut terjebak dalam kesalahan yang sama menggelikannya.” terang Bapak Ketua kepadaku, usai pertemuan yang amat menjemukan barusan.

Kudengarkan ucapan Bapak Ketua ini dengan pandangan kosong. Mataku buram. Satu-persatu bayangan melintas di sudut pikiran.

Presiden?

Apa itu Presiden?

Saat Si Erray jatuh dari atap saat tengah membobol sebuah gudang, kemana Presiden? Karena yang ada hanya teman-teman sesama bencoleng, yang kemudian hanya menutupkan koran pada tubuhnya yang masih kejet-kejet tanpa berminat untuk memberi pertolongan pertama, hanya demi terus bisa melanjutkan menjarah! Sebab katanya, di dunia mereka tak ada Presiden. Karena yang ada hanyalah uang, yang harus terus ada agar perut-perut kecil bocah kesayangan mereka yang kumal tercabik kemiskinan, tetap bisa makan: Dengan atau tanpa kehalalan.

Kemana Presiden? Saat Plenyun Si Penjual Sapu lidi, tak kuasa melunasi tunggakannya terhadap rentenir, yang barangkali bahkan lebih rendah nominalnya dari jumlah yang ditolak oleh Yang Terhormat serta Paling Mulia Dia yang melecehkan makan siang di warteg, membuatnya lintang-pukang hingga malam terjelang, hanya demi menyetor bunga yang tak pernah berkurang, menyisakan amat sedikit bagi isi panci anak-istri.

Kemana Presiden? Saat dengan amat bahagianya murid ngajiku bercerita, tentang tempat pensil teranyarnya yang kusam dekil, yang baru saja dia temukan dan pungut dari tempat sampah dengan amat sumringah.

Kemana Presiden? Sebuah pertanyaan yang kemudian bermetamorfosa dalam benakku, menjadi, “Siapa Presiden?”, atau “Apa itu Presiden?” hingga perubahan yang paling mutakhir menjadi, “Apakah benar-benar ada Presiden di negeri ini?”

Tanpa sadar aku berdiri dan menggebrak meja sekuat tenaga. Mataku yang memerah, bersitatap langsung dengan mata Bapak Ketua tersebut, yang tak kalah tajam menusuk.

Cukup lama juga kami berdiri saling menatap, hingga akhirnya aku yang mengalah. Tubuhku kembali luruh di atas kursi. Lelah dengan pertikaian bathinku sendiri yang terus menggerogoti selama banyak tahun sebelum ini.

“Baik, saya akan berangkat besok ke Tanah Papua. Tapi setelah urusan Suku Korowai ini selesai, tolong Bapak Ketua kembali menegaskan syarat yang saya ajukan saat menerima jabatan ini kepada Bapak Presiden, agar kelak Beliau sama memperhatikan suku-suku terasing lainnya, yang nyata-nyata berada tak jauh dari pusat pemerintahan. Dan saya bersedia untuk menjadi penghubung mereka.”

***

Dan di sinilah sekarang aku berada, memandangi hamparan salah satu tanah tersubur yang ada di negeriku dari balik lebatnya hutan pedalaman Papua, yang tentu saja belum pernah sekalipun mencicipi modernisasi.

Keningku sedikit mengernyit melihat pemukiman suku paling terasing yang baru ditemukan keberadaanya tiga puluh tahun yang lalu ini, yang kutaksir berada pada pucuk pepohonan lima puluh hingga seratus meter… dari permukaan tanah!

Kutatap agen penghubungku dengan penuh tanya. Laporan apa yang baiknya kubuat untuk Presiden, tentang komunitas suku, yang bahkan tidak mengenakan koteka ini? (Bersambung).

 

Secangkir Kopi Dongeng untuk Jokowi, Thornville-Kompasiana, 21 Desember 2015.

(Karena katanya Sang Presiden membaca Kompasiana, maka untuk Beliaulah dua episode novel ini saya persembahkan. Bukan demi undangan makan siang di Istana karena fiksi lebih dari sekedar itu. Dan saya tetap tak melakukan verifikasi, sebagai salah satu prasyarat pendukung undangannya).

*Terima kasih kepada Bung Hilman Fajrian dan Bung Muhammad Armand, atas tanya-jawab singkatnya melalui kolom komentar facebook, yang cukup membangkitkan pencerahan dari si bodoh ini…^_

Link episode sebelumnya:

#1 : Tanah Air Mata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun