Tapi belum lagi tubuh Rhein menyentuh lantai, ketika sosok tersebut berhasil menangkapnya, walau untuk itu dia harus setengah bersimpuh.
“Kau tidak apa-apa, Rhein?”
“Gie… Benarkah ini kau, Gie…?” bukannya menjawab, Rhein justru balik bertanya. Diusapnya wajah keras yang tengah mengangguk itu, sebelum akhirnya air mata pecah di dada sosok itu, bersama rangkulan erat yang penuh pelepasan perasaan.
Melalui isyarat mata, Gie menyuruh salah satu pengepung dr. Jalal untuk mengambil jarum suntik yang tercecer di lantai.
“A-apa yang hendak kau lakukan, Gie?”
Gie tersenyum.
“Kau percaya padaku, Rhein?”
Sejenak Rhein terkesima mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan khas yang kerapkali dilontarkan Gie sejak mereka masih sekolah dulu, saat ada kejadian apapun yang menimpa hubungan mereka. Pertanyaan yang selalu mengundang angguk darinya sebab dia tahu, setelah anggukannya, Gie dengan cara yang entah bagaimana, selalu mampu membereskan apapun yang terjadi.
Tanpa sadar Rhein mengangguk. Dibiarkannya senyawa phenethylamine tersebut menyelusup ke pembuluh darahnya, memancing neurotransmitter -noradrenaline, serotonin serta dopamine- yang ada di otaknya untuk meningkatkan aktivitas sinaptiknya.
“Bagaimana? Sudah tidak gemetar lagi?” tanya Gie, yang setelah beroleh anggukan dari Rhein, kembali dia berkata. Tapi kali ini ditujukan kepada dr. Jalal.
“Lain kali, belajarlah tentang obat-obatan dengan lebih jeli, Jalal, atau boleh kupanggil kau dengan nama aslimu, Jono?”