Gie memobat-mabitkan tangannya untuk melawan. Dipaksanya untuk membuka mata yang terasa amat pedih terkena campuran darah dan tangisnya sendiri, sambil terus mengamuk sejadi-jadinya.
Baru kali ini Gie meneteskan air mata seumur hidup semenjak dewasa. Tapi demi Rhein, ia tak lagi mempedulikan rasa malu.
“Tolong selamatkan Rhein… huuuuu…huuu… Tolong selamatkan Rheiiinnnn…”
Gie merasa ada yang menangkap tangan serta menyebut namanya berulang-ulang.
Seperti suara Rhein?
Sontak ia buka mata lebar-lebar, hanya saja kelopaknya yang bengkak membuat matanya terbuka tak lebih lebar dari lubang celengan koin.
Tapi dari celah penglihatan yang amat sempit itu Gie berhasil melihat siapa yang menangkap tangan serta memanggil-manggilnya.
“Rhein… K-kau… selamat…?”
Dengan wajah basah Rhein mengangguk, membuat Gie kembali terguguk. Tak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap kearah dirinya dengan amat haru. Juga tak dipedulikannya apapun juga. Dipeluknya Rhein dengan penuh syukur.
“Akhirnya kau selamat, Rhein… Akhirnya kau selamat… huuhuuu…”
***