"Kamu tahu, sejak tahun 1932 aku berpidato di depan Landraad mengenai modal asing ini? Mengenai bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka? Jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme, akan tetapi juga berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia. Saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken. Dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya. Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak."
"Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan negara atau perusahaan Negara."
"Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia".
"Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia"
"Aku kasih waktu pada kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini pada pihak lain negara..!"
Agak menahan tawa Rhein melihat Gie melakon ulang Bung Karno seperti dalam pentas sekolah dulu. Nada dan suara Gie jelas masih sama tegas dan bersemangatnya seperti dulu, hanya saja kini wajah Gie begitu lebam penuh gurat luka di mana-mana.
“Di sinilah kita berada sekarang, Rhein, pada lembah yang tak terdeteksi oleh pihak manapun, juga dengan seluruh penghuninya yang tak terdaftar di administrasi pemerintahan apapun,” ucap Gie dengan suara yang seperti berasal dari entah dimensi yang mana.
“Untuk ini semuakah kau akhirnya tak memutus pertemanan dengan Plenyun serta yang lainnya, Gie, yang dulu pernah kuwanti-wanti agar kau jauhi, karena mereka tak lebih dari preman kampung yang kukhawatir menularkan keburukan kepadamu?”
Gie mengangguk.
“Sayangnya kami tak selalu bisa untuk terus bersama” suara Gie terdengar agak getir. “Genjor lebih memilih untuk menata Jawa Tengah agar tetap sesuai amanat Bung Kecil, sementara Ridwan memilih Bandung, Susi yang lebih suka menjaga perairan, dan Rijal yang kesana-kemari sesuai takdirnya.”
“Oh, ya, kau masih ingat Joko, Rhein?”