“Gie kadang memang terlalu impulsif,” geleng Ran. “Terutama jika menyangkut urusan Rhein.”
“Apakah kita perlu menjalankan rencana B?” tanya Nina.
Ran mengangguk.
“Granat rakitan yang kubuat waktu itu masih sisa berapa?”
“Masih tiga.”
“Kau pegang satu saja. Dan langsung ke lembah bersama Susi dan Genjor. Biar Rijal menemani aku kembali ke rumah sakit palsu itu.”
“Ingat, jangan pernah bilang apapun kepada Rhein…” pesan Ran sambil menatap Nina dengan penuh arti, membuat Nina hanya bisa mengangguk sambil menggigit ujung bibir.
***
Setelah yakin Rhein aman bersama kelompok Ran, Gie langsung terjun ke tengah pertarungan dan mengamuk membabi-buta.
Dikeluarkannya semua kemampuan berkelahinya sejak masa perebutan kejantanan di jalanan waktu muda dulu. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari pukulan serta tendangan, dengan tangan yang tak berhenti menyodok kesana-kemari. Kadang mendaratkan kepalan ke wajah entah siapa, walau tak jarang menghantam dengan tangkupan kedua tangan di punggung yang lainnya. Sesekali sikutnya menerbitkan kecap di hidung lawan, sementara bibirnya sendiri telah pecah lebam termakan entah berapa gebukan.