Sejak saat itu, wilayah sekitar tempat tinggal Rasva tak pernah berhenti diterjang kegemparan. Setiap kali ada skandal korupsi yang melibatkan tokoh pejabat yang diliput kantor berita tempat Rasva bekerja, maka keesokan harinya pejabat tersebut ditemukan tewas dalam keadaan yang amat mengenaskan. Matanya dicungkil, tangan dan kakinya dipotong, sementara batok kepalanya tergeletak di meja dengan dahi tertancap sebatang pena berwarna darah.
Kantor berita tempat Rasva bekerja kembali ngetop seperti slogannya waktu pertama muncul dulu, dan membuat panas-dingin lintah darah berkerah putih karena khawatir nama mereka akan muncul pada dua berita utama yang paling dinanti oleh masyarakat:
Pertama, berita penyelewengan dana dari beberapa oknum, yang seringkali setelah sidang amat bertele-tele tetap saja mereka lolos dari hukum negara atau hanya menjalani hukuman singkat yang masih dipotong remisi, untuk kemudian setelah bebas malah mencalonkan diri dalam pilkadal.
Kedua -dan agaknya ini yang paling dinanti masyarakat- berita kematian si penyeleweng dana yang kebal hukum tersebut, dengan kematian yang amat tragis serta penuh kesadisan… dengan pena berdarah tertancap tepat di tengah dahi.
Kegemparan demi kegemparan tersebut langsung mendongkrak rating kota tempat tinggal Rasva sebagai Kota Paling Bersih dari Tindak Pidana Korupsi, yang tak pernah bisa disaingi oleh kota manapun di negeri ini, bahkan hingga berabad-abad setelah kisah ini ditulis, membawa serta kemakmuran gila-gilaan bagi seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya. Benar-benar sebuah prestasi yang amat luar biasa.
“Ketika keadilan terang tak mampu menyentuh mereka yang terus menggerogoti negeri, ada kekhawatiran semua urusan pada akhirnya hanya mengandal pada kumpulan kekecewaan, yang terus mengakumulatif hingga melahirkan keadilan baru… yang amat hitam dan sangat tidak beradab…!!!”
***
Usai menulis satu-dua bait pendek tentang cinta yang sunyi dan merindu dendam, Rasva memutar-mutar pena merah darah melewati setiap jemarinya. Wajahnya masih tetap guram, dengan kening sedikit mengerut seperti tengah memikirkan sesuatu yang amat berat.
Di mana kira-kira ‘dia’ berada? Karena berdasarkan narasumber yang berhasil kususupkan ke Gunung Sindur, yang kini berada di balik jeruji hanyalah wong ndeso yang dipermak wajahnya hingga amat serupa dengan yang asli.
Rasva mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja, sambil memikirkan alternatif apa yang sekiranya akan dia pilih jika dirinya menjadi ‘dia’.