Itu baru yang ter-blow up media, entah bagaimana pula kejadian lain yang tak terendus ranah pemberitaan sama sekali. Itu baru yang terjadi di Lumajang, yang kembali tak akan bisa dibayangkan, sebrutal dan sebinatang apa kejadiannya pada lokasi yang lebih terisolir.
Tanpa terasa setitik sedih mengalir di sudut mata Rasva, mengenang peristiwa paling brutal yang pernah ia buatkan laporan investigasinya, lengkap dengan rekaman foto yang begitu hidup dan berkelebat ke sana-kemari dalam benaknya menebar kengerian yang amat menggiriskan hati.
Barangkali internet mampu menawarkan kegundahan, gumam Rasva sambil menyalakan laptop dan membuka akun media sosial miliknya. Dan setelah puluhan posting sampah terlewati, matanya terbentur pada sebuah artikel tak biasa yang membahas teori tentang ‘No Pict is Hoax’.
Tak ada yang istimewa dari artikel tersebut. Tetap mendukung gambar sebagai substansi terpenting dari kebenaran suatu tulisan. Walau beberapa paragrafnya mulai memberi masukan tentang pentingnya menempatkan teori tersebut sesuai dengan kondisi di lapangan. Bahwa tak selamanya tanpa gambar itu hoax. Bahwa penggunaan gambar sebagai jimat pengusir keraguan, bisa saja justru berbalik menghantam bukan hanya kebenaran sebuah tulisan, melainkan juga keamanan penulisnya, seperti yang beberapa waktu terakhir menimpa beberapa rekan kompasianer dalam polemik PK=GT yang diduga sengaja dibuat ‘menggantung tanpa ujung’ oleh pihak-pihak terkait entah demi apa.
Mungkin demi rating, yang lazimnya memang berbanding lurus dengan saluran pundi-pundi, sambil berharap semoga terus mengalir lebih deras dan lama sebab air yang keruh memang selalu memudahkan si pengail menangkap ikan.
Tapi tak menutup pula demi kepentingan selain uang. Karena uang tentu saja bukan segalanya. Barangkali demi harga diri institusi. Bukankah kredibilitas seringkali menuntut untuk mempertahankan sebisa mungkin apa yang telah terlanjur dilakukan? Yang ketika kredibilitas tersebut berhasil terjaga, kembali uang akan mampir dengan lebih besar dan terhormat. Atau, bisa juga demi kebenaran. Walau entah kebenaran yang mana serta versi siapa. Who Knows?
Rasva menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Alih-alih kedukaannya terhibur malah justru tergali lebih dalam. Disesapnya kopi di samping laptop, sambil matanya memandang jauh menembus tembok kamar. Terus melewati ruang dan waktu hingga pada sebuah lembar kenangan yang buram matanya terkunci. Kenangan yang tak kurang ngilunya dari yang dialami hari ini.
Siapa bilang no pict is hoax? Kenyataan mengajarkan bahkan tak perlu memiliki kemampuan mengedit gambar tingkat dewa untuk membuat sebuah artikel bergambar jauh lebih hoax dari segala hoax…!!!
Waktu itu tsunami Aceh tengah hangat-hangatnya, membuat siapapun yang merasa dirinya manusia terpanggil untuk membantu, dari mulai uang tenaga, liputan media hingga seketip doa.
Saat itulah datang serombongan serigala bergaya manusia ke lokasi musibah.
Untuk melakukan aksi kemanusiaankah? Jika dilihat dari spanduk besar nan mentereng yang mereka gelar di sana, sepertinya benar. Hanya saja setelah mengambil foto yang menegaskan spanduk dan seragam rombongan berbau kemanusiaan, mereka langsung mengemasi semuanya tanpa melakukan apapun. Pulang, dengan tanpa perasaan sungkan dan malu lagi seperti umumnya yang dimiliki makhluk bernama: Manusia.