Gerus Timbunan tersenyum ewa. Hatinya puas tak terkira mendengar laporan berkala dari tokoh figuran berseragam khas hotel prodeo di hadapannya, tentang keriuhan yang terus melenting dengan amat panas dan bebasnya di blog keroyokan terbesar negeri yang serba samar ini.
“Ada kabar apa lagi?”
“Gerakan bawah tanah masih terus berjalan. Tapi Pak GT tenang saja, karena umumnya gerakan sejenis itu hanya akan bertahan paling lama tiga bulan kecuali memang ada yang sengaja menyundulnya secara berkala. Konsekuensinya beberapa akun satelit yang menginduk ke akun utama wajib hening sementara,” jawab tokoh figuran berseragam dengan hati-hati.
“Ya sudah, nanti bilang sama -Tuan Anonim- bahwa rencana yang digodok kemarin baru bisa dijalankan setelah media agak mereda… Si Koplo dilewatkan saja di lokasi anu agar lebih mudah diliput. Usahakan pesan yang sampai adalah saya melarikan diri dan terpaksa tembak mati ditempat, agar kasusnya bisa segera masuk kotak. Biar Si O’on yang menggantikan saya di sini, berjaga-jaga jika drama tersebut terendus maka akan lebih mudah untuk mengklarifikasinya sebagai kesalahan prosedur. Mengenai nafkah keluarga mereka akan diurus oleh team saya sesuai kesepakatan. Kalau perlu anak-anak mereka akan saya jamin kuliahnya hingga S3, agar setingkat lebih tinggi dari musisi yang bocah remajanya pernah heboh menjadi supir maut dan menjanjikan pendidikan anak-anak korban hingga S2 sebagai syarat penguat arbitrasi itu,” pesan Gerus Timbunan.
Tokoh figuran berseragam mengiyakan.
“Oh, iya, mengenai keberangkatan Pak GT ke Timbuktu mungkin baru bisa dilakukan tiga minggu lagi, karena kami khawatir transaksi pertukaran Bapak dengan Si O’on ada yang mencuri rekam. Menurut laporan garis depan, akhir-akhir ini banyak ditemukan wajah asing yang berkeliaran di sekitar Gunung Sindur. Biar nanti Pak Donald dan Pak Gober yang akan mengurusnya.”
Sepeninggal tokoh figuran berseragam tersebut, Gerus Timbunan menghela napas dengan amat panjang. Topeng senyumnya raib, berganti dengan raut wajah yang amat masygul. Bagaimanapun juga, nurani memang tak akan pernah bisa untuk terus dipaksa berbohong.
Dia memang koruptor, tapi dia bukanlah seorang pembunuh. Dan rencana Tuan Anonim untuk menumbalkan Si Koplo demi terhapusnya kasus yang melibatkan dirinya beserta segenap imperium bisnis Tuan Anonim yang menggurita, benar-benar sebuah pilihan yang paling dibencinya.
Sudah kadung, bisik Gerus Timbunan kepada dirinya sendiri. Dia merasa nasib menghasut waktu dan memerangkap dirinya dalam jebak begitu banyak jejak, yang sayangnya semua mengajaknya bersimbah lumpur.
Seperti dulu ketika masih di Suka Kere, dirinya dijenguk oleh seorang tua berambut perak yang sama sekali tidak dikenalnya. Masih terngiang di telinganya suara Si Rambut Perak yang ngeri-ngeri serak itu, datang hanya untuk memberinya bingkisan kitab kuno serupa primbon, untuk kemudian berlalu dengan amat misterius, setelah sebelumnya berkata singkat, “Kelak kita akan kembali bertemu, jika tiba waktunya.”
Gerus Timbunan tak pernah bisa melupakan suara orang tua berambut perak tersebut, yang walaupun sangat membuat gatal gendang telinganya namun entah mengapa dia merasa seperti ada kekuatan tak terlihat yang menyertainya. Amat bertenaga. Juga amat berkuasa, membuat semangatnya yang sempat luruh melonjak kembali ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.