manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna
gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak
buyut teu meunang di rempak
leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak
Â
Seperti bahasa pasundan, pikir Rasva dengan penuh keheranan, sebab sebagai sosok yang sejak kecil tinggal di kota, dia tentu saja tak paham bahasa tersebut. Paling banter dia hanya tahu kalimat sia mah jore lain ku aing, yang kabarnya memiliki makna elo tuh jelek, beda sama gue yang sering jadi canda bocah tanggung tetangganya.
Atau ketika malam minggu yang lalu dia sempat mendengar kalimat baru abdi bogoh ka anjeun yang dibisikkan sepasang anak dara depan rumah, sambil menyodorkan setangkai bunga yang diikat peta pink pada sekotak hape terbaru, yang bahkan hingga hari ini dia tak mengerti artinya.
Barangkali salah satu mereka tengah mempromosikan hape terbaru dengan bonus bunga, pikir Rasva waktu itu tak ambil pusing, mengingat kelakuan anak zaman sekarang yang seringkali jauh lebih nyeleneh dibandingkan seniman kawakan sekalipun.
Penasaran, Rasva kembali mengambil pena yang dibuangnya tadi. Dia menduga ada keanehan tertentu pada pena miliknya. Sebab di zaman yang telah serba canggih seperti sekarang ini, kejadian mistis otomatis menjadi sesuatu yang paling tidak logis, yang biasanya dimanfaatkan oleh oknum tertentu guna mengangkangi suatu wilayah basah, misalnya. Atau sabda langit yang dengan amat konyolnya mengintervensi kesalahan fatal seorang pejabat, hingga memaksa masyarakat untuk memakluminya sebagai human error yang murni buah mengikuti tuntunan karuhun.
Baru saja jemari Rasva menyentuh tangkai pena, ketika dia merasa tangannya tertarik kuat hingga melengket ke pena.
Dicungkilnya pena tersebut dengan tangan kiri sekuat tenaga. Tak berhasil. Bahkan kini pena aneh itu seperti mengalirkan arus listrik yang merambat hingga leher dan mencekik tenggorokannya.