Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pena Berdarah Mencabik Korupsi: Munculnya ‘Dark Justice’

1 Oktober 2015   11:38 Diperbarui: 1 Oktober 2015   12:11 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kolaborasi Bay dengan Duo Kompasianer Ras Va dan Nisrina…^_).

kenistaan adalah kini

tatkala angan, yang hanya begitu saja

memaksaku untuk melacurkan semua

sementara moral

sudah jauh-jauh hari menguap

dalam retorika ketinggian manusia

yang kini, tak lagi punya harga

(‘Saat Kau Terlelap’ dalam ‘Di Bawah Kibaran Dosa’)

 

Gunung Sindur, Waktu Indonesia Bagian Pura-pura.

Gerus Timbunan tersenyum ewa. Hatinya puas tak terkira mendengar laporan berkala dari tokoh figuran berseragam khas hotel prodeo di hadapannya, tentang keriuhan yang terus melenting dengan amat panas dan bebasnya di blog keroyokan terbesar negeri yang serba samar ini.

“Ada kabar apa lagi?”

“Gerakan bawah tanah masih terus berjalan. Tapi Pak GT tenang saja, karena umumnya gerakan sejenis itu hanya akan bertahan paling lama tiga bulan kecuali memang ada yang sengaja menyundulnya secara berkala. Konsekuensinya beberapa akun satelit yang menginduk ke akun utama wajib hening sementara,” jawab tokoh figuran berseragam dengan hati-hati.

“Ya sudah, nanti bilang sama -Tuan Anonim- bahwa rencana yang digodok kemarin baru bisa dijalankan setelah media agak mereda… Si Koplo dilewatkan saja di lokasi anu agar lebih mudah diliput. Usahakan pesan yang sampai adalah saya melarikan diri dan terpaksa tembak mati ditempat, agar kasusnya bisa segera masuk kotak. Biar Si O’on yang menggantikan saya di sini, berjaga-jaga jika drama tersebut terendus maka akan lebih mudah untuk mengklarifikasinya sebagai kesalahan prosedur. Mengenai nafkah keluarga mereka akan diurus oleh team saya sesuai kesepakatan. Kalau perlu anak-anak mereka akan saya jamin kuliahnya hingga S3, agar setingkat lebih tinggi dari musisi yang bocah remajanya pernah heboh menjadi supir maut dan menjanjikan pendidikan anak-anak korban hingga S2 sebagai syarat penguat arbitrasi itu,” pesan Gerus Timbunan.

Tokoh figuran berseragam mengiyakan.

“Oh, iya, mengenai keberangkatan Pak GT ke Timbuktu mungkin baru bisa dilakukan tiga minggu lagi, karena kami khawatir transaksi pertukaran Bapak dengan Si O’on ada yang mencuri rekam. Menurut laporan garis depan, akhir-akhir ini banyak ditemukan wajah asing yang berkeliaran di sekitar Gunung Sindur. Biar nanti Pak Donald dan Pak Gober yang akan mengurusnya.”

Sepeninggal tokoh figuran berseragam tersebut, Gerus Timbunan menghela napas dengan amat panjang. Topeng senyumnya raib, berganti dengan raut wajah yang amat masygul. Bagaimanapun juga, nurani memang tak akan pernah bisa untuk terus dipaksa berbohong.

Dia memang koruptor, tapi dia bukanlah seorang pembunuh. Dan rencana Tuan Anonim untuk menumbalkan Si Koplo demi terhapusnya kasus yang melibatkan dirinya beserta segenap imperium bisnis Tuan Anonim yang menggurita, benar-benar sebuah pilihan yang paling dibencinya.

Sudah kadung, bisik Gerus Timbunan kepada dirinya sendiri. Dia merasa nasib menghasut waktu dan memerangkap dirinya dalam jebak begitu banyak jejak, yang sayangnya semua mengajaknya  bersimbah lumpur.

Seperti dulu ketika masih di Suka Kere, dirinya dijenguk oleh seorang tua berambut perak yang sama sekali tidak dikenalnya. Masih terngiang di telinganya suara Si Rambut Perak yang ngeri-ngeri serak itu, datang hanya untuk memberinya bingkisan kitab kuno serupa primbon, untuk kemudian berlalu dengan amat misterius, setelah sebelumnya berkata singkat, “Kelak kita akan kembali bertemu, jika tiba waktunya.”

Gerus Timbunan tak pernah bisa melupakan suara orang tua berambut perak tersebut, yang walaupun sangat membuat gatal gendang telinganya namun entah mengapa dia merasa seperti ada kekuatan tak terlihat yang menyertainya. Amat bertenaga. Juga amat berkuasa, membuat semangatnya yang sempat luruh melonjak kembali ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Setelah yakin dirinya tak diawasi, Gerus Timbunan mengeluarkan kitab kuno tersebut dari balik baju tahanannya, untuk kemudian meraba gambar yang tercetak timbul di sampul depan. Gambar sosok bijak berwajah welas asih yang tengah tersenyum, dengan huruf campuran antara Kawi, Pallawa serta Pegon yang berbunyi “KITAB SAKTI ENAK ZAMANKU TOH: Seni dan Jurus Mengalahkan Lawan tanpa Perang Terbuka Versi Senyap”.

Dulu ketika awal mempelajarinya, dia menganggap bahwa ini pastilah sejenis kitab panduan wirausaha mengingat permulaan babnya selalu menggunakan judul yang mengarah kesana: Uang Datang Nurani Menghilang, Tanpa Uang Semua Kosong, Memandang Uang Tanpa Berkedip, Uang Panas Tetap Juga Uang serta masih banyak lagi judul senada di kitab tebal tersebut. Tapi setelah membaca penjelasan yang tertera dibagian bawahnya, anggapannya langsung berubah, karena di sana diterangkan pula tentang teknik, tips serta trik bagaimana menguasai suatu keadaan dan wilayah agar uang tak perlu diburu. Juga bagaimana cara menyelesaikan semua permasalahan… hanya dengan uang, tanpa perlu khawatir uang berkurang karena justru akan semakin gemilang.

Dengan bekal hasil belajar otodidak itu pulalah dia kemudian berkali-kali berhasil keluar dari hotel prodeo yang menjerujinya, hingga kejadian terakhir membuatnya sadar bahwa masih ada bagian penutup dari kitab tersebut yang malas dijalankannya karena terlalu berat juga kejam, yang membuatnya terpaksa mengeram di sarang baru: Gunung Sindur.

Dia berjanji, tiga minggu kemudian ketika dia keluar dari tempat ini, dia akan mempraktekkan semuanya dengan lebih matang.

Dia akan membeli sebuah desa secara terselubung untuk dijadikan basis pengontrol kegiatan ilegalnya yang menghilir di mana-mana, lalu membuat citra baru tentang dirinya yang serupa resi arif nan motivatif sebagai alibi. Baik di dunia nyata, terlebih lagi di dunia maya. Tentu saja setelah sebelumnya menyeting ulang lingkaran akun utama dengan mengganti kode laporan pendapatan bisnis pencucian uangnya dari masing-masing akun satelit pengelola. Tidak lagi menggunakan postingan dengan kode ‘lendir’, ‘tempe’ serta turunannya yang rentan mengundang penikmat di luar grup bisnis pencucian uangnya hingga berpotensi mengundang akun-akun detektif yang gemar sekaligus ahli mengendus kebusukan. Hingga tiba masanya dia akan menjadi sosok yang benar-benar ‘The untouchable’, dengan ranah kepemilikian aset serta bisnis paling monopolistik yang pernah ada: Dalam bentuk kartel yang terpisah dan terlihat saling bersaing sengit di antara sesamanya, tentu saja…!!!

 

***

Pena Berdarah Mencabik Korupsi: Munculnya ‘Dark Justice’

Sementara di tempat yang tak terpaut jauh dari Gunung Sindur, Rasva pulang ke rumah dengan wajah lesu. Tubuhnya letih. Begitu juga bathinnya, lelah luar biasa. Energinya terkuras habis menggarap naskah berita kriminal tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

Sebagai awak media, sebenarnya dia sudah kebal dengan segala macam peristiwa yang berbau kriminal. Tapi entah mengapa ia merasa tugas kali ini begitu menohok perasaannya.

Betapa tidak? Bahkan nyawa manusia di negeri ini jauh lebih murah dari tambang liar, hingga konflik agraria cukup untuk menjadi alasan diseretnya seorang aktivis dari rumahnya sendiri saat tengah asyik menimang cucu, untuk kemudian dibantai tepat di depan hidung warga, tanpa seorangpun berani menolongnya!

Itu baru yang ter-blow up  media, entah bagaimana pula kejadian lain yang tak terendus ranah pemberitaan sama sekali. Itu baru yang terjadi di Lumajang, yang kembali tak akan bisa dibayangkan, sebrutal dan sebinatang apa kejadiannya pada lokasi yang lebih terisolir.

Tanpa terasa setitik sedih mengalir di sudut mata Rasva, mengenang peristiwa paling brutal yang pernah ia buatkan laporan investigasinya, lengkap dengan rekaman foto yang begitu hidup dan berkelebat ke sana-kemari dalam benaknya menebar kengerian yang amat menggiriskan hati.

Barangkali internet mampu menawarkan kegundahan, gumam Rasva sambil menyalakan laptop dan membuka akun media sosial miliknya. Dan setelah puluhan posting sampah terlewati, matanya terbentur pada sebuah artikel tak biasa yang membahas teori tentang ‘No Pict is Hoax’.

Tak ada yang istimewa dari artikel tersebut. Tetap mendukung gambar sebagai substansi terpenting dari kebenaran suatu tulisan. Walau beberapa paragrafnya mulai memberi masukan tentang pentingnya menempatkan teori tersebut sesuai dengan kondisi di lapangan. Bahwa tak selamanya tanpa gambar itu hoax. Bahwa penggunaan gambar sebagai jimat pengusir keraguan, bisa saja justru berbalik menghantam bukan hanya kebenaran sebuah tulisan, melainkan juga keamanan penulisnya, seperti yang beberapa waktu terakhir menimpa beberapa rekan kompasianer dalam polemik PK=GT yang diduga sengaja dibuat ‘menggantung tanpa ujung’ oleh pihak-pihak terkait entah demi apa.

Mungkin demi rating, yang lazimnya memang berbanding lurus dengan saluran pundi-pundi, sambil berharap semoga terus mengalir lebih deras dan lama sebab air yang keruh memang selalu memudahkan si pengail menangkap ikan.

Tapi tak menutup pula demi kepentingan selain uang. Karena uang tentu saja bukan segalanya. Barangkali demi harga diri institusi. Bukankah kredibilitas seringkali menuntut untuk mempertahankan sebisa mungkin apa yang telah terlanjur dilakukan? Yang ketika kredibilitas tersebut berhasil terjaga, kembali uang akan mampir dengan lebih besar dan terhormat. Atau, bisa juga demi kebenaran. Walau entah kebenaran yang mana serta versi siapa. Who Knows?

Rasva menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Alih-alih kedukaannya terhibur malah justru tergali lebih dalam. Disesapnya kopi di samping laptop, sambil matanya memandang jauh menembus tembok kamar. Terus melewati ruang dan waktu hingga pada sebuah lembar kenangan yang buram matanya terkunci. Kenangan yang tak kurang ngilunya dari yang dialami hari ini.

Siapa bilang no pict is hoax? Kenyataan mengajarkan bahkan tak perlu memiliki kemampuan mengedit gambar tingkat dewa untuk membuat sebuah artikel bergambar jauh lebih hoax dari segala hoax…!!!

Waktu itu tsunami Aceh tengah hangat-hangatnya, membuat siapapun yang merasa dirinya manusia terpanggil untuk membantu, dari mulai uang tenaga, liputan media hingga seketip doa.

Saat itulah datang serombongan serigala bergaya manusia ke lokasi musibah.

Untuk melakukan aksi kemanusiaankah? Jika dilihat dari spanduk besar nan mentereng yang mereka gelar di sana, sepertinya benar. Hanya saja setelah mengambil foto yang menegaskan spanduk dan seragam rombongan berbau kemanusiaan, mereka langsung mengemasi semuanya tanpa melakukan apapun. Pulang, dengan tanpa perasaan sungkan dan malu lagi seperti umumnya yang dimiliki makhluk bernama: Manusia.

Sila duga sendiri, berapa banyak dana penggalangan yang mereka telan habis-habisan, mengingat euforia humaniora saat itu mampu menggerakkan siapapun untuk menyumbang sekuat yang mereka mampu.

Tentu saja mereka cuma oknum. Sama seperti rombongan lain di musibah berbeda. Atau di ranah yang lebih marginal yang tak tersekspos dunia data, dengan penguapan dana hasil penggalangan yang jauh lebih receh tapi jika diakumulasikan langsung berlipat kali jumlah yang pernah ditilep GT.

Tapi Rasva tak langsung menggeneralisasi semuanya dengan ungkapan "images are fake, statistics is lie". Sebab dia masih ingin berharap, bahwa seburuk apapun gambar dan statistik, hal itu tetap jauh lebih baik jika dibandingkan tanpa statistik sama sekali, mengingatkannya pada teori atom yang pernah dipelajarinya waktu SMU dulu.

Mengapa teori atom yang salah tetap dimasukan ke bahan ajar, dan bukannya dibuang saja langsung?

Barangkali sebabnya hanya satu. Yaitu karena dari teori yang salah itulah kemudian lahir teori benar yang membantahnya. Bahwa selama belum ada kebenaran yang baru, maka yang lama itulah yang dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Tak berhenti sampai di situ, layar kenangan kembali berkedip di matanya. Kali ini berseting pergumulan antar kopi di sebuah serambi, ketika kawannya mengeluh betapa amat lelahnya dia menjalani dunia munafik yang mau tak mau mesti dijalani demi segala yang harus tetap lancer, aman serta terkendali.

“Kita tak sekedar menjadi koruptor, Ras, melainkan juga mengajarkannya terang-terangan kepada tunas bangsa ini, yang kelak akan memegang tampuk masa depan negeri…” keluh sang kawan dengan tergugu. Dari mulutnya mengalir kisah membosankan tentang korupsi nilai UN siswa, yang bahkan hingga saat ini: Belasan tahun sejak meledaknya peristiwa contek masal siswa nyaris diseluruh jenjang sekolah kecuali TK.

“Tak ada yang berubah, Ras… Uang pulpen ketika pengambilan raport… uang her dan remedy… uang les pribadi wali siswa yang seringkali lebih dimaksudkan sebagai uang bocoran ulangan dan test tingkat lokal, serta entah apa lagi... Jangan heran jika hari ini generasi kita amat produktif dalam bekerja: Sambil medsosan... Korupsi jam kerja... Korupsi biaya dinas luar… Korupsi segala macam yang bahkan tak pernah sedikitpun terbayang sebelumnya.”

“Untungnya kita tak turut terseret di lingkar korupsi seperti itu…” jawab Rasva dalam adegan kenangan dibenaknya, karena merasa tak ikut terjerumus menjadi pelaku korupsi jam kerja sebab sebagai kalongers, dia hanya online sepulang kerja hingga dini hari.

Hanya saja ucapan ‘untungnya’ tadi langsung keropos ketika dia teringat betapa mudahnya mengeluarkan segala macam uang siluman persis seperti yang baru saja dikeluhkan sang kawan. Kadang demi hasil terbaik bagi pendidikan buah hati, walau seringkali lebih demi berkurangnya rasa bersalah karena tak mampu menemani proses belajar si kecil buah rutinitas pekerjaannya. Baik itu belajar di dunia pendidikan, apalagi belajar tentang moral yang kian lama kian menjadi amat mahal di dunia nyata.

“Kau yakin kita tak turut terseret, Ras…?” masih dengan nada yang sama pilu sang kawan kembali bertanya, membuat Rasva yang memang tengah goyah hanya bisa membisu.

“Kita sama-sama penggila malam,” desah sang kawan, sebelum melanjutkan kembali ucapannya. “Terutama sepertiga malam yang terakhir, ketika gelap mencapai titiknya yang paling puncak dan nyeri sebelum fajar menghalaunya entah ke mana.”

“Saat itu kita memaknai sunyi dini hari sebagai hidangan yang amat memabukkan bersama kalongers yang lain, tanpa sedikitpun perasaan bersalah sebab korupsi waktu tak mungkin terjadi di luar jam kerja… Tapi tanpa kita sadari justru menjebak pada korupsi yang lebih besar… korupsi kepada Tuhan… dengan mengabaikan tujuan utama penciptan kita demi penyembahan yang hanya kepada-Nya… pada waktu kunjungan terintim yang pernah diberi-Nya kepada kita… sepertiga malam yang terakhir menjelang pagi…”

Kembali setitik panas menggantung di sudut kelopak Rasva, memaksanya menutup laptop juga kenangan tentang sang kawan -yang kini entah menyepi di mana- dan memulai kebiasaannya menulis puisi dini hari. Mungkin kali ini waktunya akan dipersingkat, sebab menjadi seorang koruptor, terutama kepada Sang Penciptanya, jelas bukan cita-cita tertinggi yang dia punya.

Baru setengah jalan Rasva menulis bait pertama, ketika dia merasa tangannya yang memegang pena bergetar hebat.

Refleks dia lemparkan pena sekuatnya. Bulu kuduknya meremang tiba-tiba, bersamaan dengan suhu dalam rumah yang mendadak terasa lebih dingin, serta kesiur angin yang riuh menderu seperti putar memutar di sekeliling rumah.

Belum lagi keterkejutan Rasva pupus, ketika dia melihat ada percik noda yang menutul di atas bait puisinya. Noktah kecil yang ngecuy dengan cepat hingga memulas sepertiga kertas, dengan warna merah yang terlihat lengket dan kental khas serupa… darah!

Ada bayangan tulisan yang menyembul di pulasan merah pekat tersebut.

 

mulih ka jati, mulang

ka asal

nimu luang tina burang

manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna

gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak

buyut teu meunang di rempak

leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak

 

Seperti bahasa pasundan, pikir Rasva dengan penuh keheranan, sebab sebagai sosok yang sejak kecil tinggal di kota, dia tentu saja tak paham bahasa tersebut. Paling banter dia hanya tahu kalimat sia mah jore lain ku aing, yang kabarnya memiliki makna elo tuh jelek, beda sama gue yang sering jadi canda bocah tanggung tetangganya.

Atau ketika malam minggu yang lalu dia sempat mendengar kalimat baru abdi bogoh ka anjeun yang dibisikkan sepasang anak dara depan rumah, sambil menyodorkan setangkai bunga yang diikat peta pink pada sekotak hape terbaru, yang bahkan hingga hari ini dia tak mengerti artinya.

Barangkali salah satu mereka tengah mempromosikan hape terbaru dengan bonus bunga, pikir Rasva waktu itu tak ambil pusing, mengingat kelakuan anak zaman sekarang yang seringkali jauh lebih nyeleneh dibandingkan seniman kawakan sekalipun.

Penasaran, Rasva kembali mengambil pena yang dibuangnya tadi. Dia menduga ada keanehan tertentu pada pena miliknya. Sebab di zaman yang telah serba canggih seperti sekarang ini, kejadian mistis otomatis menjadi sesuatu yang paling tidak logis, yang biasanya dimanfaatkan oleh oknum tertentu guna mengangkangi suatu wilayah basah, misalnya. Atau sabda langit yang dengan amat konyolnya mengintervensi kesalahan fatal seorang pejabat, hingga memaksa masyarakat untuk memakluminya sebagai human error yang murni buah mengikuti tuntunan karuhun.

Baru saja jemari Rasva menyentuh tangkai pena, ketika dia merasa tangannya tertarik kuat hingga melengket ke pena.

Dicungkilnya pena tersebut dengan tangan kiri sekuat tenaga. Tak berhasil. Bahkan kini pena aneh itu seperti mengalirkan arus listrik yang merambat hingga leher dan mencekik tenggorokannya.

Tubuhnya berjengit menahan arus yang mencekik. Napasnya tersengal, dengan kedua tangan tak berhenti melonjak-lonjak hingga sekilas mirip pemain bambu gila yang berkutat sendirian ke sana-kemari.

Tak berhenti sampai di situ, di hadapannya kini terpampang tragedi kemanusian seperti layar tancap!

Bau amis darah, debu yang mengepul di antara desing peluru, tangis juga jerit pilu. Derap langkah serdadu bermata jalang yang angkuh mengokang senapan, semuanya berbaur dengan riuh suara tank yang menderu, terus memburu tanpa pandang bulu.

Pembantaian… Ini pembantaian! Ini bukan lagi perang…!!!

Rasva berdiri tegak laksana patung. Wajahnya guram berselimut kepedihan. Sementera cekikan di tenggorokannya perlahan mengendur, berganti dengan rasa hangat yang merambat di sekujur tubuh dengan sensasi celekat-celekit tiap kali melewati urat nadi, untuk kemudian terkumpul di pangkal lengan.

Tanpa sadar Rasva mengacungkan tangan yang masih menggenggam pena ke depan, lalu mulai menggurat-gurat di udara dengan gerakan seperti tengah menulis.

Sret! Sreset sret…!

Bayangan darah bertuliskan aksara Ulah Ngukur Baju Sasereg Awak meletik dari ujung pena dan melayang di udara, yang tak lama kemudian luruh hurufnya satu demi satu.

Setelah terjeda cukup lama, kembali Rasva memutar pergelangan tangan menggores Neangan Luang Tipapada Urang, yang juga kembali meluruh sebelum akhirnya musnah seperti menyelusup ke lantai kamar.

Rasva mengencangkan kuda-kuda kakinya, sebelum bergerak maju melancarkan tusukan abstrak mengikuti rangkaian kalimat Lamun Hayang Maju Ulah Ereun Mikir yang seperti gerakan orang nekat, dilanjutkan dengan gerak serabutan menyabet sekeliling tubuh, hingga bayangan darah Sanajan Teu Lumpat Tapi Ulah Cicing bertebaran membentuk tameng yang melindungi tubuhnya.

Berturut-turut Rasva memainkan gerakan Tong Leumpang Dina Hayang, Tong Cicing Dina Embung, Tapi Kudu Leumpang Dina Kudu Jeung Kudu Ereun Dina Ulah, hingga akhirnya tubuhnya kembali tegak dengan wajah yang masih sama guram dengan sebelumnya.

Sejak saat itu, wilayah sekitar tempat tinggal Rasva tak pernah berhenti diterjang kegemparan. Setiap kali ada skandal korupsi yang melibatkan tokoh pejabat yang diliput kantor berita tempat Rasva bekerja, maka keesokan harinya pejabat tersebut ditemukan tewas dalam keadaan yang amat mengenaskan. Matanya dicungkil, tangan dan kakinya dipotong, sementara batok kepalanya tergeletak di meja dengan dahi tertancap sebatang pena berwarna darah.

Kantor berita tempat Rasva bekerja kembali ngetop seperti slogannya waktu pertama muncul dulu, dan membuat panas-dingin lintah darah berkerah putih karena khawatir nama mereka akan muncul pada dua berita utama yang paling dinanti oleh masyarakat:

Pertama, berita penyelewengan dana dari beberapa oknum, yang seringkali setelah sidang amat bertele-tele tetap saja mereka lolos dari hukum negara atau hanya menjalani hukuman singkat yang masih dipotong remisi, untuk kemudian setelah bebas malah mencalonkan diri dalam pilkadal.

Kedua -dan agaknya ini yang paling dinanti masyarakat- berita kematian si penyeleweng dana yang kebal hukum tersebut, dengan kematian yang amat tragis serta penuh kesadisan… dengan pena berdarah tertancap tepat di tengah dahi.

Kegemparan demi kegemparan tersebut langsung mendongkrak rating kota tempat tinggal Rasva sebagai Kota Paling Bersih dari Tindak Pidana Korupsi, yang tak pernah bisa disaingi oleh kota manapun di negeri ini, bahkan hingga berabad-abad setelah kisah ini ditulis, membawa serta kemakmuran gila-gilaan bagi seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya. Benar-benar sebuah prestasi yang amat luar biasa.

 “Ketika keadilan terang tak mampu menyentuh mereka yang terus menggerogoti negeri, ada kekhawatiran semua urusan pada akhirnya hanya mengandal pada kumpulan kekecewaan, yang terus mengakumulatif hingga melahirkan keadilan baru… yang amat hitam dan sangat tidak beradab…!!!”

 

***

Usai menulis satu-dua bait pendek tentang cinta yang sunyi dan merindu dendam, Rasva memutar-mutar pena merah darah melewati setiap jemarinya. Wajahnya masih tetap guram, dengan kening sedikit mengerut seperti tengah memikirkan sesuatu yang amat berat.

Di mana kira-kira ‘dia’ berada? Karena berdasarkan narasumber yang berhasil kususupkan ke Gunung Sindur, yang kini berada di balik jeruji hanyalah wong ndeso yang dipermak wajahnya hingga amat serupa dengan yang asli.

Rasva mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja, sambil memikirkan alternatif apa yang sekiranya akan dia pilih jika dirinya menjadi ‘dia’.

Apakah pulang ke tanah kelahiran? Atau justru mencari tanah baru secara acak demi kamuflase pola?

Baru saja alternatif kedua berbisik berisik dari balik bilik benak, ketika Rasva melihat darah menetes dari huruf-huruf pada puisinya, membuatnya sigap menyelipkan pena ke balik lipatan lengan baju, untuk kemudian berlari seperti terbang ke arah sebuah desa… (Bersambung).

(Kisah ini hanya fiktif belaka. Dan jika ada nama lokasi serta orang-orang yang sekilas mirip, yakinlah bahwa hal itu tak lebih dari sekedar keusilan si pengarang cersil semau gue yang gemar menyentil kesana-kemari dengan amat menyebalkan. Dan biarlah dia melawan korupsi dengan caranya sendiri, terlepas dari begitu banyak ‘blok’ pro-kontra yang ada di Kompasiana. Salam…^_ )

 

Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang ke-6, Thornvillage-Kompasiana, Rabu dini hari dipenghujung September.

(Mohon pemaklumannya kepada rekan kompasianer yang berbeda pandangan, karena sejak awal nyemplung di blog bersama ini, sikap saya terhadap korupsi cukup jelas terekam dalam puisi serta artikel humaniora yang pernah diposting sebelum berkubang di cersil semau gue yang usil: LAWAN…!!! ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun