Apakah pulang ke tanah kelahiran? Atau justru mencari tanah baru secara acak demi kamuflase pola?
Baru saja alternatif kedua berbisik berisik dari balik bilik benak, ketika Rasva melihat darah menetes dari huruf-huruf pada puisinya, membuatnya sigap menyelipkan pena ke balik lipatan lengan baju, untuk kemudian berlari seperti terbang ke arah sebuah desa… (Bersambung).
(Kisah ini hanya fiktif belaka. Dan jika ada nama lokasi serta orang-orang yang sekilas mirip, yakinlah bahwa hal itu tak lebih dari sekedar keusilan si pengarang cersil semau gue yang gemar menyentil kesana-kemari dengan amat menyebalkan. Dan biarlah dia melawan korupsi dengan caranya sendiri, terlepas dari begitu banyak ‘blok’ pro-kontra yang ada di Kompasiana. Salam…^_ )
Â
Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang ke-6, Thornvillage-Kompasiana, Rabu dini hari dipenghujung September.
(Mohon pemaklumannya kepada rekan kompasianer yang berbeda pandangan, karena sejak awal nyemplung di blog bersama ini, sikap saya terhadap korupsi cukup jelas terekam dalam puisi serta artikel humaniora yang pernah diposting sebelum berkubang di cersil semau gue yang usil: LAWAN…!!! ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H