Sila duga sendiri, berapa banyak dana penggalangan yang mereka telan habis-habisan, mengingat euforia humaniora saat itu mampu menggerakkan siapapun untuk menyumbang sekuat yang mereka mampu.
Tentu saja mereka cuma oknum. Sama seperti rombongan lain di musibah berbeda. Atau di ranah yang lebih marginal yang tak tersekspos dunia data, dengan penguapan dana hasil penggalangan yang jauh lebih receh tapi jika diakumulasikan langsung berlipat kali jumlah yang pernah ditilep GT.
Tapi Rasva tak langsung menggeneralisasi semuanya dengan ungkapan "images are fake, statistics is lie". Sebab dia masih ingin berharap, bahwa seburuk apapun gambar dan statistik, hal itu tetap jauh lebih baik jika dibandingkan tanpa statistik sama sekali, mengingatkannya pada teori atom yang pernah dipelajarinya waktu SMU dulu.
Mengapa teori atom yang salah tetap dimasukan ke bahan ajar, dan bukannya dibuang saja langsung?
Barangkali sebabnya hanya satu. Yaitu karena dari teori yang salah itulah kemudian lahir teori benar yang membantahnya. Bahwa selama belum ada kebenaran yang baru, maka yang lama itulah yang dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Tak berhenti sampai di situ, layar kenangan kembali berkedip di matanya. Kali ini berseting pergumulan antar kopi di sebuah serambi, ketika kawannya mengeluh betapa amat lelahnya dia menjalani dunia munafik yang mau tak mau mesti dijalani demi segala yang harus tetap lancer, aman serta terkendali.
“Kita tak sekedar menjadi koruptor, Ras, melainkan juga mengajarkannya terang-terangan kepada tunas bangsa ini, yang kelak akan memegang tampuk masa depan negeri…” keluh sang kawan dengan tergugu. Dari mulutnya mengalir kisah membosankan tentang korupsi nilai UN siswa, yang bahkan hingga saat ini: Belasan tahun sejak meledaknya peristiwa contek masal siswa nyaris diseluruh jenjang sekolah kecuali TK.
“Tak ada yang berubah, Ras… Uang pulpen ketika pengambilan raport… uang her dan remedy… uang les pribadi wali siswa yang seringkali lebih dimaksudkan sebagai uang bocoran ulangan dan test tingkat lokal, serta entah apa lagi... Jangan heran jika hari ini generasi kita amat produktif dalam bekerja: Sambil medsosan... Korupsi jam kerja... Korupsi biaya dinas luar… Korupsi segala macam yang bahkan tak pernah sedikitpun terbayang sebelumnya.”
“Untungnya kita tak turut terseret di lingkar korupsi seperti itu…” jawab Rasva dalam adegan kenangan dibenaknya, karena merasa tak ikut terjerumus menjadi pelaku korupsi jam kerja sebab sebagai kalongers, dia hanya online sepulang kerja hingga dini hari.
Hanya saja ucapan ‘untungnya’ tadi langsung keropos ketika dia teringat betapa mudahnya mengeluarkan segala macam uang siluman persis seperti yang baru saja dikeluhkan sang kawan. Kadang demi hasil terbaik bagi pendidikan buah hati, walau seringkali lebih demi berkurangnya rasa bersalah karena tak mampu menemani proses belajar si kecil buah rutinitas pekerjaannya. Baik itu belajar di dunia pendidikan, apalagi belajar tentang moral yang kian lama kian menjadi amat mahal di dunia nyata.
“Kau yakin kita tak turut terseret, Ras…?” masih dengan nada yang sama pilu sang kawan kembali bertanya, membuat Rasva yang memang tengah goyah hanya bisa membisu.