(Diposting mundur satu bab demi menghargai rasa penasaran salah satu sahabat maya saya di Kompasiana, semoga bermanfaat…^_)
rinduku padamu seperti gerimis sore ini
rindu yang kecil-kecil namun terus berulang kali datangnya...
(‘Gerimis Rindu’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa}
Hidup yang aneh.
Pernahkah kau merasa waktu berlalu begitu tak laju, meluruh perlahan bagai sehelai daun kering yang berkelindan kesana-kemari sebelum akhirnya terjerembab ke tanah dengan begitu saja, dan menyisakan cuma ingatan yang kusam, kenangan yang buram, serta sederet ilusi tentang hidup yang seringkali hanya berakhir sebagai belenggu angan?
Saya pernah. Dan rasanya, amat menyebalkan! Terutama saat harus terus berlari dan memaksa hidup agar lebih berkelok sambil diam-diam berharap dapat menghindar dari semua itu.
Kurus, tinggi, langsing, dada rata... hidup lagi! Hohohoiii...! Anekdot menyebalkan yang sayangnya cukup mendekati profil diri saya. Ditambah dengan latar belakang yang rada-rada ngeselin: Otak pas-pasan, broken home, jarang punya rupiah, serta lahir dan hidup di wilayah yang pernah disebut-sebut sebagai terpadat se-Asia Tenggara, yang tentu saja sangat kumuh...!
Terasa amat mustahil buat saya bisa mempunyai pengalaman yang begitu unik dan tak biasa seperti dalam tulisan sebelumnya. Karena umumnya orang dengan track record seperti itu akan secara otomatis di-vonis cuma bisa jadi gembel, preman pasar, pengedar narkoba, atau paling terhormat mungkin jadi ‘Si Anu yang enggak penting banget’ yang menikah dan beranak pinak seperti marmut lalu mati karena tua dan bosan.
Lantas apa sebenarnya yang membuat hidup saya jadi berbeda?
Jelas bukan karena hidung saya yang agak panjang, sehingga membuat bibir saya jadi terlihat ‘enggak terlalu monyong’. Atau karena kulit pucat saya yang cocok untuk diberi peran obat panu. Dan –terutama sekali- tentu saja bukan karena ukuran ‘rudal’ saya yang sebesar burung gagak atau sepanjang dua jengkal karena memang yang saya punya ga se-ekstrim itu, hihihiy...
Teman yang tepat, itulah salah satu jawabannya. Tidak percaya? Mari kita buktikan bersama-sama.
Selain dengan keluarga, bersama siapa lagi kita berminat untuk menghabiskan waktu luang? Mencari buku? Naik gunung? Jalan ke mall atau melakukan hal-hal gila yang masih dalam batas kewajaran?
Sekedar curhat sambil telanjang bulat tentang segala masalah yang dihadapi? Mengirim kabar baik? Undangan ulang tahun? Pernikahan? Kelahiran bayi pertama? Bahkan saat tengah tersesat dalam kehidupanpun kita akan mengundang malaikat atau mungkin juga setan... dengan campur tangan mereka!
Saya sebut ‘teman yang tepat’ karena mungkin kita tak akan ragu untuk meminta nyaris kepada semua teman jika kehabisan uang, rokok, bahkan juga pembalut.
Tapi tak semua teman akan kita bebaskan untuk meminjam celana dalam saat mereka menginap, dan membiarkan mereka secara tak sengaja melihat betapa mulus atau bopengnya punggung dan bokong kita, serta hal-hal khusus lainnya yang ada dalam diri dan hidup kita.
Bukankah kita tahu bahwa tak semua teman mampu sehebat malaikat bagi kita? Banyak yang serupa dewa, yang selalu mendukung, memotivasi serta menutupi segala kekurangan yang dimiliki. Namun jauh lebih banyak lagi teman yang menjelma serigala, yang mencabik, memakan serta menghancurkan hingga tersisa luka menganga yang enggan reda.
Mulan, sebut saja begitu, nama ‘teman yang tepat’ saya tersebut. Cewek kecil, mungil, walau tentu jauh dari kata dekil. Tapi saya benar-benar ternganga dan tak menyangka bahwa sosok selemah itu, dapat melakukan hal-hal yang bahkan di alam bawah sadarpun saya tidak pernah membayangkannya!
Tahukah kau bagaimana perasaan bocah 15 tahun, yang kedinginan karena sakau, Mulan paksa naik taksi untuk berobat ke dokter khusus yang entah dia dapat informasi dari mana dan entah pula dengan uang siapa?
Saya tahu, karena sayalah bocah itu, yang menggigil hingga cuma mampu memeluk dia dan seorang teman wanita lainnya, sepanjang perjalanan menuju dokter tersebut. Saya tahu, karena dengan perjalanan tersebut Mulan telah menyelamatkan hidup, sekolah, juga masa depan saya!
Dan di usianya yang masih bau mie tiaw, Mulan lepaskan tindik, tato (enggak, ding, enggak pake tato alias mulus… ^_) dan semua sifat kasar saya, hingga saya dapat kembali menjadi manusia. Bahkan Mulan tak segan ‘berencana’ melepas Fakultas Kedokterannya di Universitas Swasta Ternama Jakarta, dan menggantinya dengan Kampus Negeri di luar kota, cuma agar dia memiliki selisih biaya yang bisa dipakai untuk saya kuliah!
Tapi menjadi ‘manusia’ lagi ternyata memang tidak mudah. Terutama setelah sekian lama terbiasa menyerupa sampah, belatung nangka, atau sekedar zombie muda yang berjalan kemana-mana tanpa arah dan rasa. Walau wajah serigala yang terpasang cukup membuat banyak pihak enggan untuk bersenggolan.
Perlu waktu dua tahun untuk saya memperbaiki segalanya, serta tiga tahun lagi setelahnya untuk mengejar ketertinggalan dari yang lain.
Dari Mulan saya jadi banyak tahu tentang makhluk yang bernama: Wanita. Lengkap dengan segala tingkah anehnya! Dengan sekilas lihat saya bisa langsung tahu ukuran ‘CD’ dan ‘kacamata’ mereka. Dan dengan sekilas pengamatan pula saya bisa langsung tahu tentang siklus haid mereka setiap bulannya, lengkap dengan ketidak stabilan emosi, libido, atau sekedar nyeri di perut dan keringat dingin di punggung bawah dan atau beberapa bagian tubuh yang lainnya, serta apa yang kira-kira mereka nyaman dan inginkan atau tidak. Dan hal itu amat membantu saya untuk merespon mereka dengan lebih tulus dan menghargai. Walau apesnya saya jadi disangka telah menikah di usia remaja karena terlalu dalam tahu tentang wanita.
Apa susahnya memahami wanita? Terutama setelah begitu banyaknya sasmita yang Mulan cipta, yang walaupun dengan segala kepolosan usia yang baru saya punya, tetap saja memaksa saya untuk sehebat mungkin menguraikan deretan simbolnya... dengan sangat terkeder-keder, tentu saja!
Orang dewasa selalu mengatakan apa-apa yang tengah dirasakan, begitu ucap Mulan saat saya mendadak jadi banyak terdiam buah ke-kurang sreg-an saya atas beberapa tindakannya. Sementara ketika situasi berbalik seratus delapan puluh derajat, dengan entengnya Mulan berkata bahwa orang dewasa, sudah harus tahu apa yang terjadi tanpa perlu diucapkan lagi. Halaaah...!
Alangkah susahnya menjadi orang dewasa. Dan –terutama sekali- alangkah susahnya mengerti tentang wanita...! Seringkali berlalunya waktu justru semakin membuat saya terbengong-bengong layaknya sapi ompong yang menderita ambeien hingga cuma bisa nongkrong, jika itu tentang wanita.
Tak perlu beribu guru jika hanya untuk tahu berapa banyak wanita yang menyimpan cinta sekaligus benci terhadap orang yang sama. Atau betapa besarnya hawa pembunuh yang ada dalam tubuh ringkih mereka, yang acapkali dengan cara paling tak logis mampu membuat lumpuh lelaki sekuat apapun, bahkan tanpa mereka perlu repot-repot untuk berkata atau bertindak sama sekali!
Menyimpan perasaan? Jelas itu kitab suci mereka. Walau jangan sekali-kali mempercayakan rahasia apapun terhadap sebagian besar mereka. Sementara air mata pernah saya duga sebagai 99% unsur pembentuk diri mereka, yang tidak hanya mereka teteskan saat sedang sedih atau bahagia, karena saat mereka lapar atau ngeden di WC akibat BAB tidak lancarpun mereka menangis. Alangkah aneh dan tidak praktisnya!
Bukan hanya satu-dua kali saya terlibat perbincangan aneh dengan wanita. Memelototi bareng gambar vagina yang ditarik kesana-kemari dengan pengait dan sejenis benang pada buku rujukan fakultas kedokteran, hanya untuk mengetahui dimana letak hymen atau selaput dara dan seperti apa bentuk sebenarnya. Tentu saja setelah sebelumnya teman wanita itu berkata, “Kita sama-sama udeh dewasa kan, Bay...” sambil tak lupa menyunggingkan se-uprit senyum malu karena tahu baru kemarin lulus SMU.
Atau sambil membunuh waktu, teman wanita saya yang lainnya menjelaskan ini-itu tentang tampon yang katanya jauh lebih efektif dari pembalut biasa, yang sekali lagi, mengumbar jengah dan semburat merah di wajah cantiknya karena siapapun tentu paham bahwa pembicaraan mengenai tampon bukanlah sebuah obrolan yang ladzim untuk remaja berbeda kelamin, bahkan untuk kami yang belum lama menjadi mahasiswa UI sekalipun! Walau kadang saat tengah iseng saya suka berpikir tentang bentuk dan cara memakai alat kewanitaan itu, yang katanya jauh lebih efektif dalam menahan kebocoran karena dalam penggunaannya, sebagian dari alat tersebut harus dimasukkan.
Kebocoran apa? Dimasukkan kemana? Dan banyak lagi pertanyaan berakhiran ‘a’ yang lainnya, yang semakin menguatkan pendapat saya tentang betapa repot dan anehnya menjadi seorang wanita.
Tak berhenti sampai disitu, teman wanita saya yang berbeda lagi kembali membuat saya bingung, ketika saya katakan bahwa keperawanan bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam menilai seorang wanita.
Alangkah naifnya, meletakkan beban keagungan seorang wanita hanya berdasarkan selaput tipis itu? Selaput yang bisa saja robek karena terlalu aktif bergerak, olahraga, atau mungkin karena diperkosa serta jutaan sebab lainnya yang hanya Tuhan dan mereka sendirilah yang tahu.
Tahukah kau apa yang dilakukan teman wanita itu usai mendengar omong-kosong saya? Menangis!!! Yang seketika menimbulkan kepanikan dalam diri saya antara ingin memeluk dan menenangkannya, atau justru menendang bokongnya karena menjadikan saya terdakwa di stasiun yang ramai calon penumpang!
Jangan kau duga bahwa wanita yang berbicara dengan saya tentang segala macam selaput dara, tampon atau keperawanan itu adalah cewek-cewek nakal bertampang binal yang senang mangkal. Juga jangan kau sangka mereka membicarakannya sambil menyingkapkan sebagian rok yang dikenakan, atau duduk mengangkang serta dengan gerakan bahu yang maju-mundur menggoda. Seringkali justru merekalah cewek-cewek paling positif yang pernah saya kenal.
Seseorang dari mereka saya kenal secara pribadi sejak usia sangat belia, tanpa sedikitpun cacat karakter yang dimiliki. Yang lainnya adalah gambaran ideal muslimah taat, yang sejak awal kenal telah memproklamirkan diri sebagai jemaat salah satu komunitas religi. Sementara cewek yang menangis di stasiun jelas bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis kampung yang dengan sangat meyakinkan mematahkan rekor lulus tercepat di jurusan UI, dengan tampilan yang tentu saja tak kalah religius dari santriwati manapun. Walau ingatan tentang kenakalannya dulu mengenakan busana tanpa lengan sambil membolak-balik kartu remi saat meramal di kampus, akan mengundang tawa siapapun yang melihatnya kini.
Pernah seorang cewek menantang saya untuk menebak ukuran bagian-bagian paling pribadi miliknya, yang tanpa tedeng aling-aling langsung saya jeblakkan semuanya.
“CD lo M” ucap saya datar, biasa, yang justru dibalasnya dengan rentetan kata-kata setengah berteriak seakan-akan saya adalah seorang maniak yang pernah nyolong jemuran celana dalamnya.
Penasaran, cewek yang kini mengganti nama belakangnya di facebook dengan sejenis minuman khas India campuran susu panas dan teh itu kembali bertanya ukuran yang lainnya.
“Kacamata lo 34, siklus haid lo biasanya dimulai antara tanggal sekian sampe tanggal sekian, dan berakhir tanggal sekian, dengan siksaan nyeri dan ga nyaman di bagian ini dan ini…” cerocos saya panjang lebar, yang semakin membuatnya bercuit-cuit kebingungan.
Si Teh Susu ini jelas gegabah karena berani menantang pemahaman saya tentang pernak-pernik wanita, justru di saat teman-temannya menduga keras bahwa saya adalah suami entah siapa.
Telmikah Si Teh Susu? Saya tak berani menyebut itu, karena pada kisah selanjutnya justru saya banyak belajar tentang logika dan karakter kepadanya. Lugu mungkin kata yang paling tepat untuk dia sandang. Sehebat apapun karakter dan logika yang dia punya, keluguan adalah watak terkerasnya, yang sayangnya cukup menghambat untuk dia mencapai titik yang seharusnya, dan bukan sekedar yang sekarang dia punya.
Si Teh Susu tak pernah tahu bahwa dengan cara yang sama, saya bisa menebak sangat tepat pernik yang disandang seluruh teman kampus wanita. Selain Si Bintang tentunya, karena cuma Si Bintang satu-satunya teman cewek Kristen saya yang sholatnya libur melulu, hahahay...
Dengan cara yang sama pula saya tahu beraneka macam kacamata khusus itu, mulai dari yang standard hingga yang bisa dibuka cetrekannya dari depan, atau kacamata berkancing seperti yang biasa dipakai oleh ibu-ibu yang tengah menyusui.
Jangan tanya dari mana saya tahu semua itu. Jelas saya tak memiliki tampang dan bakat untuk menjadi penjahat kelamin, yang belajar dari satu wanita ke wanita lainnya dengan cara melucuti pakaian mereka.
Homokah saya? Orang buta juga tahu bahwa saya adalah lelaki yang sangat normal, hingga peluang dugaan bahwa saya tahu dengan cara mengenakannya sebagai koleksi pribadi bukanlah hipotesa yang valid.
Bahkan saya juga tahu titik-titik mana saja dari tubuh wanita yang apabila disentuh dengan teknik tertentu, dapat menimbulkan daya rangsang tertinggi. Hingga suatu titik saya mampu membangkitkan efek rangsang itu, tanpa saya harus menyentuh satupun titik-titik yang saya maksud tadi. Dan setelah uji coba satu-dua kali pada cewek dengan tipikal yang berbeda, hasilnya sungguh diluar perkiraan, yang sejak saat itu tak pernah lagi saya praktekkan kepada siapapun.
Jangan pernah berani salah menyentuh psikologis wanita saat mereka tengah mengalami siklus bulanan, karena seringkali pada titik ini mereka menjadi sangat picik dan tak rasional. Walau anehnya pada saat yang sama justru puncak tertinggi hasrat mereka untuk disayang.
Teori bahwa wanita selalu mampu tapi tak selalu mau, sementara lelaki selalu mau tapi tak selalu mampu? Dalam konteks seksual itu adalah kebenaran! Sama benarnya dengan betapa panjangnya waktu yang dibutuhkan wanita untuk satu kali siklus persiapan sel telur, yang dengan proses relatif sederhana tetap saja memakan waktu satu bulan, sementara dengan proses dan lebih kompleks dan berbelit lelaki cuma butuh waktu tiga hari setiap kali memproduksi sperma.
Tak perlu kau ragukan teori yang menyatakan bahwa wanita secara konstan memiliki kecenderungan untuk selalu mendekat, sementara lelaki seringkali tanpa di duga tiba-tiba menjauh sejenak, untuk kemudian kembali mendekat dengan lebih intens.
Atau betapa secara umum Kaum Adam banyak menilai wanita dengan indera penglihatan, sementara Sang Hawa sendiri justru lebih senang menggunakan indera pendengarnya untuk tujuan yang sama.
Dan semua pengetahuan tentang wanita itu memang telah saya miliki, bahkan jauh-jauh waktu sebelum saya duduk di bangku kuliah. Jika sudah begitu, tentu saja saya tak bisa menyalahkan mereka yang telah menganggap saya telah menikah di usia muda, walau seringkali diri saya yang lain tak sabar untuk berteriak: “Gue masih single, woiii...!!!”
Tapi bahkan dengan semua pengertian tentang wanita yang saya punya, tetap saja tak pernah bisa menjadikan saya sebagai sosok yang memahami wanita. Karena mengerti jelas amat berbeda dengan memahami. Dan Mulan cuma pernah mengajarkan saya tentang membaca tanda yang ada dalam diri wanita, tanpa pernah mengajari saya sedikitpun tentang wanita itu sendiri. Bagaimana mungkin kulit dapat menggantikan isi...?!
Dari Mulan pula saya tahu bahwa kearifan lokal dan global yang terdapat dalam kata-kata No Pain No Gain, Jer Basuki Mowo Beo, atau No Money No Doing, yang seringkali saya jadikan pembenaran atas segala ketidak mampuan saya, menjadi tidak sakral lagi. Dengan entengnya Mulan ganti kata-kata itu dengan sederet kalimat sederhana namun cukup terbukti keampuhannya.
“Imposible is Nothing,” ucap Mulan, yang dilanjutkan dengan kalimat pinjaman yang pernah saya ucapkan ke dia, “Yang terpenting kan bukan di mana kita berada, Bay... melainkan di mana kita mampu untuk melakukan apapun yang terbaik yang kita bisa.“
Sejak saat itu saya ditarik oleh Mulan untuk memasuki ‘dunia’ di mana uang bukanlah prasyarat utama, saat kita mampu untuk memanfaatkan hal-hal terbaik –dan juga terburuk- yang kita punya: Secara cerdas!
Informasi dan data jadi begitu penting buat kami saat itu. Juga cara mengemukakan fakta-fakta kepada pihak yang ‘kebetulan’ terkait dengan keinginan dan tujuan. Dan kuliah gratis plus mendapat ‘gaji’ dari UI adalah prestasi terbaik yang berhasil saya peroleh saat remaja, yang masih berlanjut dengan segala macam ‘pengalaman tak biasa’ seperti yang tertera dalam tulisan saya bagian yang pertama.
Lama setelahnya baru saya sadari bahwa Mulan saat itu tengah mengajari saya tentang apa-apa yang kelak lebih dikenal sebagai streetsmart. Mulan ajarkan kepada saya harus ‘menjadi apa dan menuju ke mana’, lengkap dengan ‘bagaimana menjadikannya’. Mengenal lebih dalam setiap garis, bentuk dan warna yang saya temui pada Manusia-Manusia Kunci yang Mulan kenalkan kepada saya.
Ada satu kalimat Mulan yang selalu saya ingat, yang dia ucapkan pada suatu hari saat tengah berada dalam dekapan saya, “Gue enggak mo terima lo yang apa-adanya, Bay... Gue bener-bener pengin lo bisa jadi tempat gue bernaung kelak dari badai dunia...”
Sebuah ucapan yang seringkali jadi sesuatu yang menguatkan saya saat benar-benar terkapar dihantam beribu badai dalam hidup. Dan ucapan itu pula yang kemudian memacu saya untuk mampu menjadi apapun atau siapapun yang Mulan butuhkan.
Dengan logika terbalik saya kembangkan sendiri streetsmart dan Manusia-Manusia Kunci yang pernah Mulan beri. Merubah ‘we must to...’ menjadi ’what if’ dan ’how to...’ hingga saya dapat menjadi seperti yang sekarang ini, yang tahu begitu banyak nyaris tentang apapun dan di manapun.
Saya tahu bagaimana caranya membuat bocah 4 tahun mampu membaca koran di teras rumah, hanya dengan belajar 1 jam sehari.
Dengan metode yang sama saya juga mampu untuk membuat kakaknya yang berusia 5 tahun, menjadi lebih pintar dari tetangganya yang kelas 2 SD, atau pada bidang-bidang tertentu bahkan jauh lebih cerdas dari tantenya yang SMP.
Saya tahu bagaimana merubah sekumpulan mahasiswa baru dan atau buruh pabrik yang katanya tak terdidik, menjadi pengusaha yang bebas finansial tanpa mereka perlu repot-repot berkecimpung di dalamnya.
Saya tahu bagaimana cara membuat seseorang memiliki berpuluh-puluh kartu kredit dari berbagai macam bank, personal loan, bahkan juga menjadi pemilik ‘bank’ dengan level tertentu, tak peduli jika misalnya seseorang itu cuma pekerja informal atau bahkan pengangguran sekalipun!
Dan saya juga tahu bagaimana merubah pengontrak rumah menjadi kontraktor rumah, memiliki bisnis tanpa tempat usaha, perusahaan tanpa kantor, atau sekedar bermain aman dalam bisnis yang paling tahan terhadap krisis.
Saya tahu semuanya, dan telah membuktikannya bersama begitu banyak siswa saya dan lebih banyak lagi orang yang pernah berinteraksi dengan saya.
Saya tahu semuanya. Terlalu banyak tahu hingga saya khawatir hanya memiliki dua yang saya tidak tahu: Tidak Tahu Diri dan Tidak Tahu Malu. Terlalu banyak tahu hingga seringkali saya merasa lebih hebat dari Dedi Corbuzier. Bukankah Dedi cuma mampu menyulap dengan trik khusus, di panggung yang cuma hiburan? Sementara saya mampu menyulap tanpa trik apapun, dengan kehidupan sebagai panggung saya.
Saya tahu semuanya, juga tahu bahwa banyak orang lain yang mampu untuk melakukannya. Hanya dengan teman yang tepat? Tentu lebih dari sekedar itu, yang kembali akan saya bagi dalam tulisan saya selanjutnya.
Dan saya juga tahu bahwa saya akan sangat menyesal karena pernah mengabaikan Mulan, saat suatu hari datang dan meminta untuk saya nikahi.
Bukan karena rupiah mengingat 32.000 USD yang ada di rekening saya saat itu tentu lebih dari cukup buat saya menikah dengan dia: Cuma dengan menjentikkan jari dan bersiul-siul di kamar mandi. Melainkan karena saya mencintai dan menyayangi Mulan: Dengan amat terlalu! Dan tak ingin situasi bisnis saya yang tengah memburuk saat itu turut dirasakan Mulan. Karena buat Mulan, saya cuma ingin yang paling sempurna, yang sayangnya tak pernah bisa saya berikan pada Mulan.
Dan setelah lebih dari ribuan hari, saya mulai berpikir bahwa jauh di dalam diri saya, ternyata saya tidak pernah ingin masuk UI, jadi sufi, atau mengalami berbagai kehidupan aneh yang pernah saya jalani. Karena saya –ternyata- pada akhirnya cuma ingin menjadi Si Bay enggak penting yang bisa bersama dengan orang terdekat saya. Cuma ingin jadi orang yang mungkin hanya akan mati karena tua dan bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut...
meluruh satu-satu bersama milyaran rasa di setiap tetesnya
dapatkah kau jumlah
banyaknya cinta yang kupunya, untukmu...
(‘Gerimis Rindu’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)
Pesan moral dalam cerita ini adalah:
- Jangan pernah sedikitpun berani untuk meremehkan seorang wanita, karena dibalik penampakannya yang amat lunglai tersebut, ternyata menyimpan begitu banyak kekuatan yang menggentarkan.
- Hati-mati memilih teman, dan terutama sekali: Hati-hati dalam memilih teman wanita! Karena siapa tahu, dari merekalah kita justru memperoleh ‘transfer energy (dan juga cinta)’ yang mampu membangkitkan kekuatan sejati dalam diri…^_
- Marilah kita belajar dari lelucon sarkas para maling sandal yang gemar bergentayangan di masjid itu, yaitu “Ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk.” Saya berharap selain kericuhan serta noda merah jambu yang banyak terselip di cerita ini, masih ada beberapa kebaikan yang bisa kita petik dari kisahnya, semoga…
Salam hangat persahabatan, salam dunia maya…^_
Secangkir Kopi Belajar dari Perempuan Remaja, "Dunia Aneh Si Bayangan" bagian yang ke-2, Kompasiana-15.
Fragmen selanjutnya (Yang telah diposting di Kompasiana-Silahkan klik judulnya):
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H