b. Tantangan Koordinasi
Di balik potensi positif dari pembagian Kemendikbud-Ristek menjadi tiga kementerian, ada juga kekhawatiran bahwa pemisahan ini dapat menghambat koordinasi dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Tantangan-tantangan ini mencakup berbagai aspek penting, seperti penyediaan sumber daya, pelatihan guru, serta evaluasi kurikulum yang konsisten. Berikut adalah beberapa potensi hambatan yang bisa muncul:
1) Tantangan dalam Penyediaan Sumber Daya yang Terkoordinasi
Dalam sistem pendidikan yang terintegrasi sebelumnya, penyediaan sumber daya seperti buku pelajaran, alat bantu pengajaran, dan infrastruktur pendukung dilakukan di bawah satu kementerian. Dengan pemisahan ini, koordinasi antara kementerian yang mengelola pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi dan teknologi bisa menjadi lebih rumit. Beberapa potensi masalah yang muncul adalah:
- Pembagian anggaran dan sumber daya yang tidak merata. Setiap kementerian mungkin memiliki prioritas anggaran yang berbeda, yang bisa berdampak pada penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka. Misalnya, sekolah-sekolah di daerah terpencil mungkin kesulitan mendapatkan perangkat teknologi yang diperlukan untuk pembelajaran berbasis proyek karena adanya perbedaan prioritas dalam pengelolaan sumber daya.
- Kurangnya sinergi dalam penyediaan perangkat teknologi. Kurikulum Merdeka mengandalkan teknologi untuk mendukung proses belajar mengajar, terutama dalam pembelajaran berbasis proyek dan diferensiasi pembelajaran. Namun, jika tidak ada koordinasi yang kuat antara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, ada kemungkinan terjadi ketidakseimbangan dalam distribusi dan adopsi teknologi di sekolah-sekolah dasar dan menengah.
2) Hambatan dalam Pelatihan dan Pengembangan Kompetensi Guru
Salah satu pilar penting dalam keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah kesiapan dan kompetensi guru. Namun, dengan pembagian kementerian ini, pelatihan guru dan pengembangan kompetensinya bisa menjadi lebih sulit dikoordinasikan. Tantangan-tantangan yang mungkin muncul adalah:
- Desentralisasi pelatihan guru. Pelatihan dan pengembangan guru yang sebelumnya dikelola dalam satu kementerian, kini bisa menjadi tanggung jawab yang terbagi antara kementerian pendidikan dasar dan menengah serta kementerian yang menangani pendidikan tinggi. Hal ini bisa mengakibatkan ketidaksepahaman dalam tujuan dan standar pelatihan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keseragaman dalam kualitas implementasi Kurikulum Merdeka.
- Inkonsistensi dalam materi pelatihan. Kebutuhan pelatihan guru untuk menerapkan Kurikulum Merdeka mencakup pembelajaran berbasis proyek, evaluasi formatif, dan pengajaran yang menekankan keterampilan abad 21. Namun, jika tidak ada koordinasi yang baik antara kementerian, pelatihan guru bisa bervariasi di setiap wilayah, dengan beberapa wilayah menerima pelatihan yang lebih komprehensif daripada yang lain.
- Pengurangan kualitas pendampingan. Guru-guru di lapangan membutuhkan pendampingan berkelanjutan dalam menerapkan metode baru Kurikulum Merdeka. Jika pelatihan dan pendampingan tidak dikoordinasikan dengan baik antar kementerian, ada risiko bahwa banyak guru yang tidak mendapatkan dukungan yang cukup untuk mengimplementasikan pendekatan ini secara optimal.
3) Evaluasi Kurikulum yang Tidak Konsisten
Evaluasi yang menyeluruh dan terus-menerus sangat penting untuk memastikan efektivitas Kurikulum Merdeka. Namun, dengan pemisahan kementerian, ada potensi evaluasi yang terfragmentasi, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang keberhasilan atau kelemahan implementasi kurikulum ini. Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi adalah:
- Ketidakselarasan dalam evaluasi kurikulum. Karena tanggung jawab untuk evaluasi pendidikan dasar dan menengah berada di bawah satu kementerian, dan riset serta pengembangan terkait mungkin dikelola oleh kementerian pendidikan tinggi, ada risiko bahwa standar dan pendekatan evaluasi bisa berbeda. Hal ini dapat menyebabkan hasil evaluasi yang tidak konsisten di berbagai jenjang dan wilayah.
- Kurangnya koordinasi dalam penerapan standar evaluasi. Evaluasi keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka harus dilakukan secara konsisten di seluruh Indonesia. Namun, jika tidak ada koordinasi yang baik antara kementerian yang menangani pendidikan dasar dan menengah dengan kementerian lain, ada kemungkinan terjadi perbedaan standar dalam mengukur keberhasilan pembelajaran. Ini dapat memengaruhi kemampuan untuk menilai secara objektif apakah Kurikulum Merdeka benar-benar efektif di seluruh wilayah.
- Riset dan pengembangan yang terpisah. Dalam sistem sebelumnya, riset pendidikan dan pengembangan metode baru dilakukan secara terpusat. Namun, dengan adanya kementerian yang berbeda, riset yang terkait dengan pendidikan dasar dan menengah mungkin tidak lagi terintegrasi dengan riset pendidikan tinggi dan teknologi. Ini bisa menghambat pengembangan kurikulum yang didasarkan pada riset terbaru dan inovasi pedagogis.
4) Kurangnya Sinergi dalam Pengembangan Kebijakan
Dengan pembagian kementerian, pembuatan kebijakan pendidikan juga bisa mengalami hambatan koordinasi, terutama ketika kebijakan terkait implementasi kurikulum dan ketersediaan sumber daya harus melibatkan berbagai kementerian. Hal ini dapat menyebabkan:
- Lambatnya pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus, keputusan mengenai perubahan kebijakan pendidikan atau alokasi sumber daya mungkin membutuhkan persetujuan atau koordinasi antar kementerian. Hal ini bisa memperlambat proses pengambilan keputusan, terutama dalam situasi yang memerlukan respons cepat terhadap tantangan yang muncul di lapangan.
- Ketidaksinkronan kebijakan antara jenjang pendidikan. Karena tanggung jawab pendidikan terbagi antara kementerian yang menangani pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, ada potensi ketidaksinkronan dalam kebijakan yang mempengaruhi transisi siswa dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Ini bisa mengakibatkan gap dalam penerapan standar kurikulum yang seharusnya berjalan mulus dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
5) Potensi Fragmentasi dalam Pengelolaan Data Pendidikan