Bram tersenyum lebar. "Langsung ke inti, ya? Saya suka itu. Proyek ini adalah tentang pengadaan barang di beberapa kementerian. Anggarannya besar dan tentu saja, ada banyak keuntungan yang bisa dibagi. Yang saya butuhkan adalah dukungan Anda untuk memastikan semuanya berjalan lancar."
Arjuna menatap Bram, mencoba mencari celah dalam kata-kata yang diucapkan. "Apa yang Bapak harapkan dari saya?"
"Bantu saya meloloskan beberapa regulasi yang mempermudah prosesnya. Tentu saja, Anda akan mendapatkan kompensasi yang layak," jawab Bram dengan nada meyakinkan.
Detak jantung Arjuna semakin cepat. Ia tahu, inilah momen krusial yang bisa menentukan arah karier politiknya. "Bapak tahu ini bisa berisiko tinggi, kan? Jika terungkap, karier kita bisa hancur."
Bram tertawa kecil. "Dalam politik, Arjuna, risiko adalah bagian dari permainan. Yang penting adalah bagaimana kita mengelolanya."
Arjuna terdiam, menimbang-nimbang tawaran tersebut. Pesan peringatan yang diterimanya kembali terngiang di telinganya. Ia harus membuat keputusan---apakah akan menerima tawaran ini dan masuk ke dalam lingkaran suap yang gelap, atau menolaknya dan menjaga integritasnya.
"Baiklah, Pak Bram. Saya akan memikirkannya," kata Arjuna akhirnya.
Bram tersenyum puas. "Tidak perlu terburu-buru, Arjuna. Ambil waktu Anda. Tapi ingat, peluang seperti ini tidak datang dua kali."
Pertemuan itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Arjuna meninggalkan restoran dengan pikiran yang penuh, menyadari bahwa jalan di depannya penuh dengan rintangan yang tak terlihat. Hujan kembali turun, seolah-olah langit Jakarta sedang menangisi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Chapter 3: Jalan Berliku Integritas
Pagi berikutnya, matahari bersinar terang seolah ingin menghapus jejak hujan semalam. Namun, di dalam diri Arjuna, badai masih berkecamuk. Pikiran tentang tawaran Pak Bram dan pesan-pesan peringatan terus menghantui. Saat dia berjalan memasuki gedung DPR, suasana tampak seperti biasanya, tetapi Arjuna merasakan ada yang berbeda.