Pagi itu, Arjuna tiba di kantornya dengan semangat yang membara. Dukungan dari masyarakat dan keberhasilan dalam mengungkap jaringan korupsi memberikan energi baru. Namun, dia juga sadar bahwa ancaman masih mengintai di balik bayang-bayang.
Ketika Arjuna sedang membaca dokumen di ruang kerjanya, telepon di mejanya berdering. "Pak Arjuna, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Dia mengaku memiliki informasi penting," kata resepsionis.
"Baik, suruh dia masuk," jawab Arjuna dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Seorang pria paruh baya masuk ke ruangan. Wajahnya tampak tegang, dan matanya terus melirik ke sekeliling, seolah-olah takut diawasi.
"Pak Arjuna, nama saya Budi. Saya punya informasi penting tentang orang-orang yang masih berada di belakang jaringan korupsi ini. Tapi kita harus bicara di tempat yang lebih aman," katanya dengan nada cemas.
Arjuna mengangguk dan memutuskan untuk membawa Budi ke ruang rapat kecil yang terisolasi. Di sana, Budi mulai menceritakan tentang beberapa anggota DPR dan pejabat tinggi lainnya yang masih terlibat dalam jaringan korupsi. Dia memberikan nama-nama dan detail yang mengejutkan.
"Ini sangat berharga, Budi. Terima kasih atas keberanianmu," kata Arjuna dengan tulus.
Namun, Budi tiba-tiba berhenti berbicara dan menundukkan kepala. "Ada satu hal lagi, Pak. Saya harus mengakui sesuatu. Saya telah dipaksa oleh mereka untuk memberikan informasi yang menyesatkan. Mereka mengancam nyawa keluarga saya."
Arjuna terkejut. "Apa maksudmu?"
"Saya disuruh untuk menyampaikan informasi palsu kepada Anda agar Anda terperangkap. Mereka ingin menjatuhkan Anda dan membungkam Anda selamanya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya ingin membantu Anda, tetapi keluarga saya dalam bahaya," jawab Budi dengan air mata di matanya.
Arjuna merasa marah dan prihatin sekaligus. "Budi, saya berjanji akan melindungi Anda dan keluarga Anda. Kita akan memastikan bahwa mereka tidak bisa menyakiti Anda lagi."