"Terima kasih, Maya. Maaf harus memanggilmu malam-malam begini," jawab Arjuna, mencoba tersenyum.
"Tidak masalah, Pak. Ini sudah menjadi bagian dari pekerjaan saya," Maya menambahkan. "Kalau boleh tahu, apa yang Bapak pikirkan? Anda terlihat sangat serius."
Arjuna terdiam sejenak, ragu apakah ia harus berbagi kekhawatirannya dengan Maya. Namun, Maya adalah orang yang bisa dipercaya, pikirnya.
"Ada seseorang yang mengirim pesan peringatan kepadaku tentang Pak Bram. Kamu tahu sesuatu tentang itu?" tanya Arjuna dengan nada hati-hati.
Maya mengernyitkan dahi, jelas terkejut dengan pertanyaan tersebut. "Saya tidak tahu, Pak. Tapi Pak Bram memang dikenal sering memberikan tawaran yang... tidak biasa. Mungkin lebih baik berhati-hati."
Arjuna mengangguk. "Terima kasih, Maya. Aku akan mempertimbangkannya."
Setelah Maya pergi, Arjuna kembali duduk dan membuka map yang diberikan. Namun, pikirannya terus kembali ke pertemuan dengan Pak Bram dan pesan misterius tersebut. Ia harus memutuskan langkah selanjutnya dengan hati-hati.
Esok paginya, Arjuna tiba di gedung DPR dengan semangat yang bercampur kegelisahan. Rapat demi rapat dilaluinya dengan penuh perhatian, namun pikirannya terus mengembara ke janji pertemuan dengan Pak Bram malam itu. Tepat pukul tujuh malam, ia tiba di sebuah restoran mewah di pusat kota, tempat mereka janjian bertemu.
Bram sudah menunggu di sebuah meja pojok yang agak tersembunyi dari pandangan umum. Senyum hangatnya menyambut Arjuna, namun ada kilatan tajam di matanya yang sulit diabaikan.
"Arjuna, silakan duduk. Semoga kamu tidak keberatan kita bertemu di sini," kata Bram sambil menawarkan minuman.
Arjuna mengambil tempat duduk di seberang Bram, merasa sedikit tidak nyaman. "Tidak masalah, Pak. Saya penasaran dengan proyek yang Anda bicarakan kemarin."