Di dalam ruang sidang yang pengap, Senja duduk di barisan paling belakang, mencatat setiap detail persidangan. Bagas, yang duduk di kursi terdakwa, tampak tenang. Senyum tipis terpasang di wajahnya, seolah tak terpengaruh oleh tuduhan jaksa. Persidangan berlangsung alot. Saksi demi saksi dihadirkan. Ada yang memberatkan Bagas, namun tak sedikit pula yang berusaha meringankan hukumannya. Senja mencatat semuanya dengan detail, berharap bisa menyusun berita yang mengungkap kebenaran di balik kasus ini. Usai persidangan, Senja bergegas keluar. Dia harus segera menulis berita sebelum tenggat waktu. Namun, baru beberapa langkah berjalan, dia dihadang oleh dua orang berbadan tegap.
"Senja Permata, benar?" salah satu pria bertanya dengan nada intimidasi.
Senja, meski tegang, tetap berusaha tenang. "Ya, benar. Ada apa?"
"Anda menulis berita yang tidak menyenangkan Pak Bagas," kata pria lainnya, "Sebaiknya Anda hentikan atau..."
Pria itu tak melanjutkan ancamannya, namun Senja sudah mengerti pesan tersiratnya. Dia tak gentar. "Kebebasan pers dilindungi undang-undang," jawabnya tegas. "Saya akan terus menulis kebenaran, apapun resikonya."
Kedua pria itu saling pandang. Senyum dingin terlukis di wajah mereka. "Kami tunggu berita Anda selanjutnya," bisik salah satu pria, lalu mereka berlalu begitu saja.
Senja berdiri tegak, rasa takut bercampur dengan kemarahan berkecamuk di dadanya. Dia sadar, dia baru saja melangkah masuk ke dalam lingkaran api, seperti yang diungkapkan pria misterius tadi. Namun, dia tak bisa mundur. Dia akan terus menyuarakan kebenaran, Â meskipun nyawa menjadi taruhannya. Dengan langkah tegap, Senja berjalan menuju kantor redaksi, membawa serta semangat untuk melawan para bedebah yang tengah merajalela. Senja tahu, pertarungan ini baru saja dimulai.
Bab 2: Senyapnya Bara
Senja melangkah tergesa-gesa memasuki ruang redaksi. Suasana kantor sepi, hanya terdengar deru kipas angin dan dentingan keyboard dari beberapa wartawan senior yang sedang mengejar deadline. Dia langsung menuju mejanya, menyalakan laptop, dan mulai menulis berita tentang persidangan Bagas Wijaya. Jari-jemarinya menari di atas keyboard, menuangkan setiap detail persidangan ke dalam bentuk tulisan. Dia tak hiraukan rasa takut yang masih menyelimuti dirinya setelah insiden dengan preman suruhan Bagas. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyampaikan kebenaran kepada publik. Setelah sekitar sejam, berita Senja rampung. Dia menghela napas lega, lalu mengirimkannya ke editor. Namun, belum lama dia berpindah ke artikel lainnya, suara ketukan di pintu redaksi membuatnya tersentak.
"Masuk!" Senja berseru.
Pintu terbuka, menampilkan sosok pria berambut gondrong dan berkacamata yang pernah dia temui di depan gedung pengadilan. Senja mengerutkan kening. "Mas?"