"Kita tidak bisa menyerah," ucap Bara, mencoba membangkitkan semangat Senja. "Pasti ada cara untuk keluar dari sini dan membongkar kedok Bagas."
Senja mengangguk pelan. Dia menatap Bara dengan tatapan mantap. "Ya, kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang, apapun yang terjadi."
Di dalam ruang tahanan khusus itu, Senja dan Bara mulai menyusun strategi baru. Mereka harus mencari cara untuk keluar dari jeratan hukum yang dibuat oleh Bagas dan para pengkhianat.
Bab 7: Sinar Keadilan di Balik Jeruji
Hari-hari berlalu bagaikan siput yang merayap. Senja dan Bara mendekam di ruang tahanan khusus, dihantui oleh bayang-bayang pengkhianatan Aruna. Suasana hening yang sesekali dipecahkan oleh suara langkah kaki sipir penjara semakin menambah gundah hati mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Senja lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Bara menghela napas, "Kita harus memikirkan cara untuk keluar dari sini. Kita tidak bisa dipenjara dengan tuduhan palsu."
Senja setuju. Namun, pikirannya buntu. Mereka tak punya akses ke dunia luar, tak bisa menghubungi siapapun untuk meminta bantuan.
Tiba-tiba, pintu sel terbuka dan seorang sipir penjara masuk. "Senja Permata, Anda dipanggil ke ruang pengadilan," ucapnya datar.
Senja dan Bara saling pandang, terkejut. Persidangan mereka digelar begitu cepat, tanpa peringatan sebelumnya.
Di ruang pengadilan yang dingin dan mencekam, Senja dan Bara duduk di kursi terdakwa. Jaksa penuntut umum membacakan dakwaan, menuduh mereka melakukan pembobolan data dan pencemaran nama baik Bagas Wijaya. Senja dan Bara membantah semua tuduhan tersebut. Mereka menjelaskan bahwa mereka hanyalah jurnalis dan aktivis yang sedang menjalankan tugas mereka. Namun, bukti-bukti yang dihadirkan pihak Bagas, termasuk rekaman CCTV palsu, membuat hakim dan para pengunjung sidang terkesima. Suasana hening menyelimuti ruangan, dipenuhi oleh tatapan skeptis yang tertuju pada Senja dan Bara. Di tengah persidangan yang menegangkan, tiba-tiba seorang pria berbadan tegap melangkah masuk ke ruang sidang. Dia adalah paman Senja, yang datang jauh-jauh dari kampung halamannya untuk menghadiri persidangan tersebut. Paman Senja berjalan menuju mimbar dan meminta izin kepada hakim untuk berbicara. Hakim pun mengizinkannya.