“Kelak Abang ne lah kene minom kupi kemat,” selidik adikku.
“Jangenlah sebasing nudo urang. Dak baek cem tu, Dik.” Aku harus mengalihkan pikiran adikku dari tuduhan yang sembarangan itu–kelak Abang ini sudah terkena minum kopi pengasihan. Tidak baik seperti itu.
Memang istilah “kupi kemat” alias kopi yang sudah dijampi-jampi untuk sebuah maksud sihir semacam itu bukanlah hal luar biasa. Seorang tetangga, yang dulu sering menyaksikan atraksi band dangdut di sebuah kampung pelosok, akhirnya ketagihan ke sana, menikah dengan miyak sana, dan menetap di sana. Para tetangga pun bergunjing dengan mengaitkannya pada kupi kemat. Padahal, menurutku, sih, jodoh bukanlah soal ilmu sihir atau sesuatu yang sengaja dibuat-buat.
“Mending mulai kini bikin kupi untuk Abang. Selesai.”
Ya, konsekuensinya, adikku harus selalu menyediakan aku secangkir kopi : pagi dan sore. Sedangkan, kalau aku bertandang ke rumah kakak sepupuku, dia ‘wajib’ menyuguhkan secangkir kopi agar obrolan antara aku dan suaminya bisa mengalihkan keinginanku bertandang ke rumah tetangga.
Lantas, bagaimana dengan anaknya kawan Ibu? Bukankah dia cantik, bahkan, kata adikku, sangat cantik? Bukankah ibunya pun sangat senang jika aku mau menjadi menantu alias suami anaknya?
Aku hanya punya satu jawaban : tidak jodoh. Sederhana dan akurat. Itu menurutku tetapi selalu membuat cemberut adik bungsu dan kakak sepupuku. Akhirnya adikku memvonis, terlalu memilih pasti tidak akan terpilih. Tega, ya?
“Ganjaran untuk seorang PHP yang tega kuadrat!” katanya dengan nada ketus.
***
Situasi di rumah dan kampung halaman sangat kental setamat pendidikan di Yogyakarta. Bolak-balik Sungailiat-Yogyakarta sejak SMA tidaklah menyempatkan khayalanku tersangkut di Kota Metropolutan ini. Bahkan, kota paling gagah se-Indonesia ini merupakan tempat bernomor urut ke-1 dalam daftar kota-kota bukan tujuan merantau.
Khayalan memang tidak tersangkut tetapi nasib adalah sebuah misteri hidup yang tidak pernah mampu dideteksi gejalanya. Demikian pula suatu sejarah yang benar-benar tidak kuasa kuhindari dari bentangan khayalku mengenai tempat tujuan merantau. Bentangan khayalku akhirnya berubah total, dan selalu menjadi bagian kekecewaan ibu-ibu tetanggaku hingga kini.