Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bayang-bayang Kampung Halaman di Tempat Baru

25 Mei 2016   04:49 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelak Abang ne lah kene minom kupi kemat,” selidik adikku.

Jangenlah sebasing nudo urang. Dak baek cem tu, Dik.” Aku harus mengalihkan pikiran adikku dari tuduhan yang sembarangan itu–kelak Abang ini sudah terkena minum kopi pengasihan. Tidak baik seperti itu.

Memang istilah “kupi kemat” alias kopi yang sudah dijampi-jampi untuk sebuah maksud sihir semacam itu bukanlah hal luar biasa. Seorang tetangga, yang dulu sering menyaksikan atraksi band dangdut di sebuah kampung pelosok, akhirnya ketagihan ke sana, menikah dengan miyak sana, dan menetap di sana. Para tetangga pun bergunjing dengan mengaitkannya pada kupi kemat. Padahal, menurutku, sih, jodoh bukanlah soal ilmu sihir atau sesuatu yang sengaja dibuat-buat.

“Mending mulai kini bikin kupi untuk Abang. Selesai.”     

Ya, konsekuensinya, adikku harus selalu menyediakan aku secangkir kopi : pagi dan sore. Sedangkan, kalau aku bertandang ke rumah kakak sepupuku, dia ‘wajib’ menyuguhkan secangkir kopi agar obrolan antara aku dan suaminya bisa mengalihkan keinginanku bertandang ke rumah tetangga.

Lantas, bagaimana dengan anaknya kawan Ibu? Bukankah dia cantik, bahkan, kata adikku, sangat cantik? Bukankah ibunya pun sangat senang jika aku mau menjadi menantu alias suami anaknya?

Aku hanya punya satu jawaban : tidak jodoh. Sederhana dan akurat. Itu menurutku tetapi selalu membuat cemberut adik bungsu dan kakak sepupuku. Akhirnya adikku memvonis, terlalu memilih pasti tidak akan terpilih. Tega, ya?

“Ganjaran untuk seorang PHP yang tega kuadrat!” katanya dengan nada ketus.   

***

Situasi di rumah dan kampung halaman sangat kental  setamat pendidikan di Yogyakarta. Bolak-balik Sungailiat-Yogyakarta sejak SMA tidaklah menyempatkan khayalanku tersangkut di Kota Metropolutan ini.  Bahkan, kota paling gagah se-Indonesia ini merupakan tempat bernomor urut ke-1 dalam daftar kota-kota bukan tujuan merantau.

Khayalan memang tidak tersangkut tetapi nasib adalah sebuah misteri hidup yang tidak pernah mampu dideteksi gejalanya. Demikian pula suatu sejarah yang benar-benar tidak kuasa kuhindari dari bentangan khayalku mengenai tempat tujuan merantau. Bentangan khayalku akhirnya berubah total, dan selalu menjadi bagian kekecewaan ibu-ibu tetanggaku hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun